Wonosobo identik dengan kawasan Dieng. Namun, ada sisi lain tak biasa dari Wonosobo yang belum banyak orang tahu.
Wisata Wonosobo tak harus selalu di Dieng. Banyak inspirasi yang dapat ditemukan di kota nya. Penduduk ramah, jajanan lezat dan kisah para buruh migran dengan berbagai masalahnya. Dari sini, saya dapat melihat dunia dari sisi yang berbeda, membuat perjalanan lebih bermakna.
Buat saya, extraordinary traveling itu tak harus selalu pergi jauh dan mengunjungi tempat-tempat mainstream dan terkenal. Extraordinary traveling adalah ketika dapat merasakan momen perjalanan secara emosional dan tak terlupakan. Artinya, saat pulang dari perjalanan tersebut saya masih dapat merasakan suasananya dan rindu untuk ke sana lagi.
Hal ini terjadi saat saya berniat ke Dieng. Waktu yang singkat saya gunakan untuk menjelajah Wonosobo di perkotaannya, baik ke taman di pusat kota maupun merasakan kuliner malam. Saat inilah yang membuat saya bisa interaksi dengan penduduk lokal.
Berkenalan dengan beberapa remaja yang sedang hangout, saya manfaatkan untuk menyelami bagaimana kehidupan para muda-mudi di sana. Kami bertemu di Warung Mie Ongklok khas Wonosobo, berbincang seputar tenaga kerja Indonesia dari Wonosobo yang kebanyakan merasa kesulitan melanjutkan arah tujuan hidup saat mereka pulang ke tanah air.
Salah satu dari mereka, Nessa Kartika, memiliki organisasi buruh migran di sana. Dia menawarkan saya untuk bergabung. Kesempatan ini tidak saya sia-siakan.
Sambil menikmati pemandangan Wonosobo yang asri, dingin, terdapat banyak tanaman carica (sejenis buah papaya berukuran kecil) dan salak yang memenuhi pinggiran jalan, kami berbincang. Ini lebih dari sekedar perjalanan untuk saya.
Setelah itu, saya mengunjungi toko oleh-oleh salah satu buruh migran yang telah berhasil. Tentunya keberhasilan ini menjadi inspirasi bagi para buruh migran di Wonosobo.
Sore harinya, saya dan Nessa mengendarai sepeda motor ke Dieng. Saat itu gerimis, kami menikmati minuman purwaceng dan goreng kentang panas di sekitar komplek Candi Arjuna dan Bukit Teletubies, sambil menikmati pemandangan sekitanya yang hijau. Nikmat sekali.
Perjalanan selanjutnya, saya ingin sekali ke Dubai, negeri bak seribu satu malam dengan berbagai keunikan dan kombinasi antara budaya timur dan modernnya. Saya tertarik dengan semua atmosfer kehidupan dan ingin mendalami human interest di sana.
Dubai menjadi wish list saya sejak sepuluh tahun yang lalu dan sampai sekarang belum terlaksana. Semoga bisa tercapai setelah mengikuti program detikTravel.
9 Tips Aman Mendaki Gunung Penanggungan di Mojokerto
Gunung Penanggungan di Mojokerto jadi favorit pendaki pemula untuk liburan Hari Kemerdekaan 17 Agustus. Inilah tips aman untuk mendakinya
Karena berketinggian 1.653 mdpl, banyak pendaki yang meremehkan. Akibatnya kecelakaan dan serangan hipotermia pun mengancam. Dihimpun detikcom, Selasa (6/8/2019) ini tips agar aman dan nyaman saat mendaki Gunung Penanggungan saat liburan 17 Agustusan:
1. Pakai jalur Tamiajeng
Jalur Tamiajeng, Kecamatan Trawas, Mojokerto paling banyak dilalui para pendaki ke Gunung Penanggungan. Selain tidak terlalu terjal, jalur ini juga paling dekat dengan Puncak Penanggungan atau Pawitra di ketinggian 1.653 mdpl. Rute pendakian ini dikelola Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Sumber Lestari.
2. Persiapan naik gunung yang serius, jangan meremehkan
Sekretaris LMDH Sumber Lestari Khoirul Anam mengatakan, tak sedikit pecinta alam yang meremehkan Gunung Penanggungan lantaran tidak terlalu tinggi jika dibandingkan gunung lainnya di Jatim. Sehingga para pendaki kurang persiapan saat melakukan pendakian.
"Paling sering pendaki mengalami hipotermia. Rata-rata mereka meremehkan karena dianggap gunung kecil sehingga kurang persiapan, seperti tidak membawa tenda, jaket, sleeping bag dan matras," kata Anam kepada detikcom beberapa waktu lalu.
3. Jangan turun gunung sambil berlari
Selain itu, lanjut Anam, kecelakaan kerap dialami pendaki saat turun dari Puncak Pawitra menuju ke Puncak Bayangan sekitar 1.200 mdpl. Lagi-lagi karena pendaki meremehkan medan di gunung ini. Sehingga mereka memilih turun sambil berlari.
"Dari top (Puncak Penanggungan) ke Puncak Bayangan kecuramannya sekitar 60-80 derajat. Saran kami jangan lari, kalau terpeleset bisa 10 meter jatuhnya. Paling sering pendaki mengalami cedera engkel karena terjatuh," ungkapnya.