Minggu, 01 Maret 2020

Dampak Negatif Perburuan Kejam Lumba-lumba Bagi Laut

Perburuan kejam terhadap lumba-lumba di Taiji, Jepang tak hanya menyayat hati. Aktivitas ini juga berdampak negatif bagi ekosistem laut.

Perburuan lumba-lumba di Kota Taiji, Jepang mendapatkan kecaman dari banyak kalangan termasuk para traveler pemerhati lingkungan. Bukan hanya perihal sadis, aktivitas yang berdalih tradisi ini juga memiliki efek samping bagi kesehatan laut.

Lumba-lumba adalah pemakan ikan-ikan pelagis. Jika populasi lumba-lumba menurun secara global tentu akan terjadi kelimpahan populasi ikan-ikan pelagis.

"Dampaknya adalah menurunnya populasi nutrien yang menjadi makanannya. Dan hal ini berdampak negatif terhadap kelompok ikan yang makanannya bergantung pada sediaan nutrien atau plankton," ujar Dharmadi, Badan Riset Sumber Daya Manusia Kementerian Kelautan dan Perikanan (BRSDMKP), Senin (6/2/2019).

Dharmadi menambahkan dampak lainnya, kelompok ikan predator menjadi terlalu banyak karena melimpahnya ikan-ikan pelagis. Secara ekosistem tentu akan berpengaruh terhadap keseimbangan populasi biota Laut.

Jika eksploitasi ini terus terjadi, dikuatirkan dapat berdampak pada spesies ikan tertentu yang menjadi booming atau melimpah. Dan hal ini berkaitan juga dengan spesies biota lainnya.

"Meledaknya populasi ikan non ekonomis potong dan secara ekonomi akan menurunkan pendapatan negara," jelas Dharmadi.

Dampak negatif juga diungkapkan oleh Dr Ing Widodo S Pranowo, Ketua Laboratorium Data Laut dan Pesisir, Pusat Riset Kelautan KKP.

"Dolphin itu habitatnya sepertinya tidak terlalu jauh ke samudera lepas. Dolphin makan ikan-ikan kecil di pesisir. Sementara di perairan pesisir Jepang beberapa lokasi seperti Fukushima dan beberapa perairan pesisir teluknya banyak industri," kata Widodo.

Widodo menjelaskan bahwa mengkonsumsi daging lumba-lumba bukanlah pilihan tepat. Dikhawatirkan kalau limbah-limbah logam berat seperti merkuri terdapat di perairan pesisir. Limbah tersebut akan terakumulasi dalam ikan-ikan kecil yang kemudian dimakan oleh lumba-lumba.

Hal inilah yang memungkinkan adanya akumulasi logam berat di daging lumba-lumba.

"Begitu juga misalkan adanya lepasan senyawa nuklir yang terlepas ke badan air laut pesisir, dari ledakan reaktor Fukushima, maka mungkin saja terakumulasi di daging lumba-lumba," jelas Widodo.

Bila daging lumba-lumba ini dikonsumsi oleh manusia, dalam hal ini penduduk Taiji, maka Departemen kesehatan Jepang seharusnya mengukur dan memantau kandungan logam berat ataupun senyawa nuklir pada tubuh penduduk Taiji. Karena logam berat seperti merkuri memberikan efek yang sangat berbahaya.

"Efeknya mungkin tidak bisa dilihat dalam jangka waktu yang pendek, namun kemungkinan bisa muncul pada jangka waktu yang lama," tutur Widodo.

Kisah Penggembala Rusa dari Suku Terkecil Sedunia

Traveler anti mainstream pasti menyukai ini. Ini adalah kisah suku terkecil sedunia menjadi penggembala rusa di Mongolia.

Melansir BBC Capital, Rabu (5/2/2019), keberadaan mereka jauh di dalam hutan salju Mongolia. Menggembala rusa lebih dari sekedar pekerjaan karena merupakan budaya dan tradisi mereka.

"Yang kita miliki adalah rusa. Tujuan kami untuk bangun dan bekerja setiap hari adalah agar kami dapat membesarkan mereka," kata salah satu anggota suku, Dawaajaw Balanish.

Lokasi tepatnya ada di Provinsi Khovsgol, Mongolia bagian utara, sekitar 50 km selatan perbatasan Rusia. Kelompok etnis minoritas terkecil ini memiliki populasi sekitar 300 orang, bernama Suku Dukha.

Mereka hidup sebagai penggembala rusa di hutan salju atau taiga. Di musim dingin, taiga diselimuti salju tebal, pohon-pohon konifernya hanya tinggal dahan tanpa daun karena dingin yang menggigit dapat turun hingga ke suhu -50 derajat C.

Ada Peradaban Kuno di Temanggung!

Traveling ke Temanggung, ada yang istimewa untuk traveler yang suka tempat-tempat unik. Ada bukti peradaban kuno di sana.

Keberadaan Situs Liyangan, Desa Purbosari, Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temanggung, Jateng, dianggap istimewa. Hal ini mengingat di situs ini ditemukan lahan pemukiman, peribadatan dan lahan pertanian.

Adapun Situs Liyangan berada di lereng Gunung Sindoro. Untuk sampai lokasi dari Kota Temanggung perjalanan ditempuh sekitar satu jam. Sebelum memasuki lokasi, sepanjang perjalanan bisa menikmati keindahan alam dan lahan pertanian yang menghijau.

Ekskavasi di Situs Liyangan dilakukan sejak tahun 2010 hingga sekarang. Setelah dilakukan ekskavasi ditemukan bangunan candi, jalan, saluran irigasi maupun permukiman penduduk.

Kepala Balai Arkeologi Yogyakarta, Sugeng Riyanto mengatakan, pada tahun 2008 Balai Arkeologi menerima laporan dari warga masyarakat. Kemudian pada tahun 2009 melakukan survei dan ekskavasi dilakukan sejak 2010 hingga sekarang.

"Pada tahun 2008, kami dapat laporan dari warga, kemudian 2009 melakukan survei, mulai 2010 melakukan ekskavasi sampai sekarang," katanya saat dihubungi detikTravel, Senin (4/2/2019), malam.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Situs Liyangan merupakan permukiman kuno yang lengkap. Hal ini mengingat ada tempat ibadah, untuk bermukim dan ada tempat untuk bertani.

"Situs Liyangan permukiman kuno yang lengkap, ada tempat ibadah, tempat untuk bermukim dan ada tempat untuk bertani, jadi lengkap. Itu bentuknya, kalau masanya sangat panjang sejak abad ke-2 sampai abad ke-11 masehi," katanya.

Adapun saat ekskavasi ada temuan-temuan, kata dia, yang menandakan sebagai tempat peribadatan yakni berupa candi, arca, alat upacara seperti genta dan tempat menaruh bunga. Sedangkan untuk pertanian dengan ditemukan alat-alat pertanian seperti cangkul, ada parang dan ada pipisan serta alat untuk mengilas biji-bijian bumbu.

"Ditemukan juga lahan pertanian. Lahan pertanian bentuknya gundukan-gundukan memanjang dan ditanami di atasnya," tutur dia.

Permukiman yang ditemukan di sekitar situs tersebut, kata dia, merupakan permukiman yang eksklusif karena yang tinggal merupakan para pengelola candi.

"Permukiman yang dulu itu eksklusif khusus untuk pengelola candi, jadi bukan warga biasa. Situs seluas itu kan yang mengelola banyak sekali, mereka juga bertani juga," tuturnya.

Menurut Sugeng, bukan hanya lebih komplit, tetapi menurut dia yang paling istimewa adalah data-data organik yang tidak ditemukan di situs lainnya yang semasa, seperti arang-arang kayu bekas rumah. Mereka menemukan bekas bahan makanan juga, ada padi dan lain-lain, semuanya dalam keadaan arang karena terbakar.

"Bahkan kita temukan lahan pertaniannya, saluran irigasinya, nggak ada di tempat lain, situs lain yang semasa, sangat kompleks dan integral," ujarnya.

Sementara itu, Kepala Bidang Kebudayaan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Temanggung, Didik Nuryanto mengatakan, dengan ditemukan Situs Liyangan tersebut, Pemkab Temanggung pada tahun 2011 atau 2012-an telah membebaskan lahan seluas 5.635 meter persegi.

"Pemkab Temanggung pada tahun 2011 atau 2012-an telah membebaskan lahan seluas 5.635 meter persegi di Situs Liyangan," katanya.

Selain itu, kata dia, warga sekitar juga membentuk Tim Peduli Situs Liyangan yang diketuai Kepala Desa Purbosari.

"Di sana ada Tim Peduli Situs Liyangan diketuai Kepala Desa Purbosari berjumlah 16 orang. Mereka ini bertugas menjaga dan menyelamatkan," ujar dia.

Keberadaan Situs Liyangan ini bisa menjadi lokasi wisata edukasi yang ingin mengetahui perkembangan sejarah. Wisatawan pun silih bergantian datang menuju lokasi tersebut. Tercatat pada bulan Januari ada 2.595 pengunjung yang datang. Para pengunjung ini terdiri dari pelajar, mahasiswa maupun masyarakat biasa.

"Kami sengaja ke sini karena penasaran. Tadi sempat foto-foto dan buat video. Kami tertarik dengan salah satu kehidupan masa lampau bisa menambah wawasan tentang sejarah nenek moyang," ujar Rudi Usman (27), yang datang bersama Wahyu Setiyadi (22), keduanya warga Pringsurat.

Hal senada disampaikan pengunjung lainnya, Kabul (50), warga Candiroto. "Tadi dari Temanggung, mau balik mampir melihat sini. Lokasi ini harus ada perhatian khusus karena masuk cagar budaya," tuturnya.