Selasa, 17 Maret 2020

Berlayar di Labuan Bajo, Siapa Takut!

 Kalau liburan ke Labuan Bajo, traveler mesti coba berlayar sampai ke Pulau Komodo dan sekitarnya. Tinggal beberapa hari di kapal, sungguh asyik rasanya.

Gempa di Lombok dan Bali sempat bikin turis agak kuatir liburan ke Indonesia. Beberapa teman dari luar negeri merasa tidak aman untuk datang ke Indonesia. Sempat terjadi percakapan yang menegangkan antara kami semua. Mereka berencana membatalkan perjalanan liburan bersama yang sudah kami rencanakan beberapa tahun lalu, karena keadaan alam Indonesia tidak menentu. Padahal hotel, pesawat dan segala kebutuhan kami sudah dipersiapkan sebelumnya. Bisa dibayangkan bukan? Seperti mimpi buruk rasanya.

Kenapa sih bela-belain banget? Ya, saya sangat bangga dengan negara saya. Setiap kali saya mempunyai kesempatan bertemu dengan orang-orang dari luar negeri, entah itu disengaja atau tidak, saya berusaha memperkenalkan keindahan dari negara ini. Tidak lupa juga saya menunjukan kepada mereka foto-foto alam Indonesia. Kemudian saya menguatkan beberapa teman agar kita terus berpikir positif bahwa negara ini akan aman kembali.

Berburu Seafood di Pasar Malam Kampung Ujung Labuan Bajo.

Seminggu telah berlalu dan akhirnya tiba hari keberangkatan kami ke salah satu pulau indah di Indonesia, Labuan Bajo. Cuaca pada hari itu begitu cerah. Pas banget! Sepertinya Tuhan mendukung liburan kami. Ketika kami sampai di hotel, kami segera bersiap-siap mengunjungi pasar malam. Wah tempat ini seperti surga bagi pencinta seafood. Banyak ikan, udang, kepiting yang segar. Jika ada yang tidak suka seafood, jangan khawatir karena ada makanan-makanan lain seperti nasi goreng, bakso, batagor, dan lain-lain yang bisa dinikmati di sana. Karena teman-temanku berasal dari Amerika, mereka sangat ingin mencoba bakso. Wah jadi lapar ya.

Petualangan Seru Sudah Dimulai.

Rasa lelah dan mengantuk telah terkalahkan dengan semangat membara kami. Ya kami sangat antusias dengan petualangan kali ini. Kami sempat dikagetkan dengan satu kenyataan bahwa kami akan berlayar. Kami kira kami akan berlayar kemudian pada malam harinya kami akan dibawa kembali ke hotel. Tetapi ternyata kami harus menginap di kapal selama 4 hari 3 malam. Wow, pasti akan semakin seru banget! Kapal yang kami tumpangi ini lebih kecil karena hanya untuk tujuh orang. Apabila kena ombak pasti akan terasa banget. Masih berani? Tanya saya pada teman. Dan dia menjawab, "Berani dong, siapa takut!"

Kapal kami berlayar menuju Pulau Kelor. Satu hal yang bisa kami ucapkan untuk pulau ini adalah terlalu cantik. Medan di Pulau Kelor cukup sulit. Tapi kami beruntung kami mendapatkan tiga teman baru di kapal. Mereka sangat baik dan ramah. Mulai dari pegangan tangan bareng supaya bisa sampai puncak, foto bersama di atas puncak sampai ada edisi terpeleset bareng pada waktu turun. Bukit Pulau Kelor memang tidak tinggi. Tapi jalur mendakinya cukup terjal, berbatu dan berpasir.

Untuk sampai ke atas, saya tidak selalu berjalan tegak, terkadang harus sedikit merayap sambil berpegangan rumput dan batu. Sesampainya di puncak inilah kelihatan gradasi warna laut dari biru tua, biru muda dan toska. Kapal-kapal yang berlayar juga tampak bergerak pelan. Indah sekali! Sudah ada laut, bukit, pantai kayaknya enggak lengkap kalau belum snorkeling. Betul nggak? Jadi pada waktu itu kami berlayar kembali dan kami snorkeling di wilayah yang tidak jauh dari Pulau Kelor.

Hai Para Pendaki, Ini yang Harus Kamu Tahu Tentang Hipotermia (2)

Tjahjadi sering menjadi guide untuk melakukan pendakian ke Gunung Kilimanjaro, Annapurna hingga gunung-gunung di Eropa. Khusus soal hipotermia, dia selalu menekankan satu hal penting.

"Saya selalu bilang kepada tamu saya, kalau kamu sudah tidak bisa merasakan di mana jari kaki dan jari tangan dan sudah tidak bisa diantisipasi dengan pertolongan pertama, maka kita turun. Kita harus berani memutuskan," katanya.

Bagaimana cara mengantisipasi hipotermia?

"Pakaiannya yang basah harus segera diganti supaya tetap menjaga suhu tubuh, beri selimut, beri minuman hangat dan hindari paparan angin," tutur Tjahjadi yang juga co-founder CSVakansi, operator wisata minat khusus di Indonesia.

Namun Tjahjadi menekankan, alangkah baiknya para pendaki mempersiapkan segala perlengkapan pendakian dengan matang. Selain itu, pelajari ramalan cuaca.

"Lebih baik mencegah daripada mengobati, artinya lebih baik kita antisipasi dulu segala hal sebelum mendaki gunung. Terutama soal cuaca, kita lihat apakah akan hujan, angin kencang atau sebagainya. Dari situ kita akan tahu, misal oh kalau begitu bawa jaket tambahan untuk menghadapi hujan dan angin kencang," urainya.

"Namun sebenarnya, lebih dari itu, saat cuaca tidak bersahabat misal angin kencang dan hujan, terdapat risiko lainnya seperti longsor, jalan licin dan lain-lain. Selain perlengkapan yang matang, persiapan pun harus matang," tambah Tjahjadi.

Tjahjadi berpesan, keselamatan saat mendaki gunung adalah nomor satu dan tidak bisa ditawar. Kalau dirasa kondisi tubuh tidak kuat, alangkah baiknya turun dan membatalkan pendakian.

"Selalu ingat, safety first. Nyawa kamu tidak bisa ditawar dengan apapun," tutupnya.

"Hipotermia itu adalah suhu tubuh turun sampai di bawah 37 derajat Celcius (suhu tubuh normal manusia), karena kedinginan. Itu ada beberapa stadiumnya," terang Tjahjadi Nurtantio, guide pendakian gunung dari DAKS Die Welt der Berge (German Alpine and Climbing School), operator wisata minat khusus dari Jerman, Selasa (8/1/2019).

Tjahjadi menjelaskan, terdapat beberapa stadium saat pendaki terkena hipotermia. Misalnya, stadium 1 suhu tubuhnya turun sampai 32 derajat Celcius, stadium 2 turun sampai 28 derajat Celcius hingga stadium 4 suhu tubuh di bawah 24 derajat Celcius atau bisa dikatakan sudah meninggal dunia.

"Hipotermia bisa sampai membuat orang meninggal dunia, jika tidak dilakukan penanganan yang cepat dan tepat," tegas Tjahjadi.

Cuaca yang dingin menjadi faktor utama para pendaki terkena hipotermia. Namun selain itu, Tjahjadi menyebut satu hal penting lainnya yang sering terlupakan yakni angin.

"Yang paling sering dilupakan pendaki adalah pakaian tahan angin atau windproof. Begini, puncak-puncak gunung di Indonesia itu ketinggiannya rata-rata 3.000-an mdpl dan suhunya tidak sampai minus. Mungkin paling dingin bisa sampai 5 derajat Celcius. Tapi, kalau ditambah kecepatan angin yang kencang, itu bisa membuat terkena hipotermia lebih cepat karena kita sudah kehilangan banyak energi dan akan cepat sekali suhu tubuh turun," paparnya.

Bagaimana tanda-tanda orang terkena hipotermia?

"Tanda pertamanya adalah jari kaki dan jari tangan yang dingin. Kemudian, badan menggigil terus menerus. Namun menggigil itu wajar ya, karena itu reaksi alamiah tubuh untuk melawan dingin, akan tetapi kalau terus-terusan itu sudah harus dicek benar kondisi tubuhnya," ujar Tjahjadi.