Senin, 13 April 2020

Diuji di Jepang, Masker Tisu Toilet Lebih Ampuh Daripada Masker Bedah

Selama pandemivirus Corona COVID-19 berlangsung, berbagai macam jenis masker digunakan oleh banyak orang untuk mencegah penularan penyakit ini. Lantas seberapa efektif masker-masker ini bila digunakan untuk menangkal virus?
Dikutip dari Asia One, seorang profesor ahli kimia dari Jepang, Dr Tomoaki Okuda membandingkan tiga jenis masker dalam percobaan sains yang dilakukannya. Ketiga jenis masker itu adalah masker bedah, masker tisu toilet, dan masker kain.

Ketiga jenis masker itu diuji ketahanan dalam memblokir partikel di udara menggunakan alat bernama Scanning Mobility Particle Sizer (SMPS). Cara kerja alat ini adalah selang pada SMPS nantinya akan menghisap udara di dalam ruangan dan mengukur konsentrasi partikel per sentimeter kubik.

Dalam eksperimennya, Okuda menyetel SMPS untuk mencari partikel udara seukuran virus yang diperkirakan berdiameter antara 20 sampai 100 nanometer. Berikut ini adalah hasil tes pengujian ketahanan dari ketiga masker itu untuk menangkal virus:

Masker bedah
SMPS menunjukkan ada sekitar 1.800 partikel udara per sentimeter kubik yang lolos melewati masker bedah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masker bedah memiliki efisiensi hingga 70 persen untuk menangkal virus.

Masker tisu toilet
Okuda menggunakan tiga lembar tisu toilet yang dilipat menjadi dua, sehingga membuat masker itu menjadi enam lapis. Setelah dilakukan pengujian, SMPS menunjukkan hanya 1.000 partikel udara per sentimeter kubik yang lolos.

Hal ini membuat masker tisu toilet memiliki efisiensi pemblokiran hingga 80 persen, dan nampaknya masker jenis ini lebih efektif dalam menangkal virus dibandingkan masker bedah.

Masker kain
Masker kain ini dibuat dari sapu tangan yang dilipat tiga kali dan menunjukkan hasil yang sama dengan masker bedah. SMPS mengukur ada sekitar 1.800 partikel udara per sentimeter kubik yang lolos, dengan efisiensi pemblokiran hingga 70 persen.

Hampir 1 Juta Orang Desak Bos WHO Mundur karena Dinilai Lambat Hadapi Corona

Terdapat petisi online yang menyerukan pengunduran pemimpin Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Petisi ini telah ditandatangi oleh 912.251 orang di situs Change.org pada Senin (13/4/2020).
Tedros Adhanom Ghebreyesus telah memimpin WHO sejak Juli 2017 sebagai Direktur Jenderal. Kepemimpinannya saat ini mendapat kecaman atas penanganan terhadap pandemi virus Corona COVID-19 yang dinilai lambat.

Pada 23 Januari lalu, Tedros menolak menyatakan wabah virus Corona COVID-19 di China sebagai keadaaan darurat kesehatan global. Virus Corona saat ini telah menjangkit 1,8 juta orang dan menewaskan lebih dari 114 ribu orang di seluruh dunia.

Dalam petisi tersebut, Tedros dituduh tidak melakukan investigasi apapun kepada China saat wabah ini dimulai. Ia dinilai percaya dengan jumlah orang yang terinfeksi dan kematian yang dilaporkan dari negara tersebut.

"Kami sangat berpikir Tedros Adhanom Ghebreyesus tidak cocok untuk perannya sebagai Direktur Jenderal WHO. Banyak dari kita benar-benar kecewa. Kami percaya WHO seharusnya netral secara politik," isi petisi dari Change.org yang menyerukan Tedros mundur dari jabatannya.

Anggota Parlemen Amerika Serikat menjadi salah satu yang mengkritik keras kebijakan Tedros. Pada Kamis (9/4/2020) sekelompok Republikan dari Komite Pengawasan DPR AS menulis surat kepada Tedros yang menuntut agar ia mengungkap hubungannya dengan para pejabat China.

"Sepanjang Krisis, WHO telah menghindar dari menyalahkan pemerintah China. Anda sebagai pemimpin WHO, bahkan melangkah lebih jauh dengan memuji transparan pemerintah China selama krisis, ketika pada kenyataanya rezim secara konsisten berbohong kepada dunia dengan melaporkan statistik infeksi dan kematian yang palsu," isi surat anggota parlemen AS kepada Tedros, dilansir Fox News.

Sebelumya pada hari Rabu (8/4/2020) Tedros menyerang Presiden AS Donald Trump. Tedros menuduh Trump mempolitisasi pandemi Corona setelah ancamannya akan memotong dana AS ke WHO.

"Jika Anda tidak ingin lebih banyak kantong mayat, jangan menahan diri untuk mempolitisir. Mohon karantina untuk mempolitisasi COVID-19," kata Tedros di sebuah konferensi pers.

Minggu, 12 April 2020

Kisah Pasangan yang Ditangkap Usai Langsungkan Pernikahan Saat Lockdown

Beredar video pasangan yang tengah melangsungkan pernikahan di tengah pandemi Corona. Kedua pasangan dari Afrika Selatan ini akhirnya ditangkap polisi karena dinilai tak patuhi aturan lockdown.
Mengutip Daily Star, dalam videonya terlihat sang suami jalan berbarengan dengan sang istri ke dalam mobil polisi. Menurut salah satu tamu, para polisi dan petugas setempat menangkap pasangan ini tepat setelah kedua pasangan tersebut bertukar janji.

"Polisi dan tentara bersenjata itu mereka menyerbu tenda tempat pernikahan itu berlangsung dan menangkap semua orang," ucap salah satu tamu.

"Kami menghimbau semua orang untuk menganggap serius virus Corona COVID-19 ini dan bekerja sama dengan pemerintah untuk menekannya sebelum merusak seluruh negara," kata Walikota uMhlathuze, Mduduzi Mhlongo.

"Jumlah orang yang terinfeksi meningkat tajam dan sekarang kita mulai melihat orang meninggal di negara kita seperti di negara-negara lain di dunia. Kita harus memuji semua warga negara yang mematuhi aturan dan mendorong mereka untuk melakukannya sampai akhir. Kami percaya ini untuk kesehatan dan kelangsungan hidup kita sendiri," lanjutnya.

Afrika Selatan saat ini berada di minggu kedua dari diberlakukannya kebijakan lockdown yang ketat. Mereka dilaporkan memiliki 1.934 kasus virus corona yang sudah mengonfirmasi 18 kematian pada Jumat (10/4/2020).

Virus Corona Disebut Bermutasi Jadi 3 Tipe, Wabah di AS Dipicu Tipe Awal

Peneliti dari Universitas Cambridge menemukan tiga jenis virus Corona COVID-19 yang berbeda namun saling berkaitan erat. Ketiganya dibagi dengan tipe A, B dan C.
Mengutip Daily Mail, analisis strain yang menunjukkan tipe A adalah virus yang menular ke manusia dari kelelawar melalui trenggiling. Namun tipe ini malah bukan menjadi kasus yang paling umum ditemukan di China.

Disebutnya, tipe B malah menjadi penyebab pandemi Corona di China yang disebut mulai merebak pada malam Natal. Hasil penelitian menunjukkan tipe A ini lebih banyak ditemukan di Australia dan Amerika Serikat yang sudah mencatat lebih dari 400 ribu kasus virus Corona COVID-19.

"Sebagian besar kasus di Wuhan adalah tipe B sedangkan tipe C yang diturunkan kemudian muncul dan menyebar pada awalnya melalui Singapura," ungkap Dr Peter Forster, salah satu peneliti.

Dua pertiga sampel Amerika adalah tipe A, tetapi sebagian pasien yang terinfeksi berasal dari Pantai Barat bukan dari New York. Sementara itu, Dr Peter Forster dan timnya menemukan kasus di Inggris didominasi oleh tipe B, dengan tiga perempat sampel pengujian strain. Swiss, Jerman, Prancis, Belgia, dan Belanda pun didominasi oleh tipe B.

Jenis lainnya yaitu tipe C, turun dari tipe B dan menyebar ke Eropa melalui Singapura. Para ilmuwan meyakini virus yang secara resmi disebut SARS-CoV-2 terus bermutasi untuk mengatasi resistensi sistem kekebalan pada populasi yang berbeda.

Dr Forster mengatakan kepada MailOnline bahwa tipe A awalnya bermutasi menjadi tipe B di China, tetapi tipe C, 'putri' B, berevolusi di luar negara. Dia mengakui para ilmuwan tidak mengerti bagaimana tipe B 'menyingkirkan' pendahulunya dan menjadi lebih umum di China.

Tipe B ditemukan nyaman dalam sistem kekebalan tubuh orang-orang di Wuhan dan tidak perlu bermutasi untuk beradaptasi. Namun, di luar Wuhan dan di tubuh orang-orang dari lokasi yang berbeda, variasi bermutasi jauh lebih cepat.

Ini menunjukkan ia beradaptasi untuk mencoba dan bertahan dan mengatasi perlawanan di antara populasi lain, seperti orang Barat. Analisis data menunjukkan jenis virus yang asli mungkin telah beredar di China sejak September.