Rabu, 29 April 2020

Siti Fadilah Sentil WHO, Bill Gates dan Bisnis Vaksin Dunia

 Menteri Kesehatan RI (2004-2009) Siti Fadilah Supari membuat Indonesia jadi sorotan internasional setelah menggalang dukungan negara-negara lain untuk menggugat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terkait penanganan wabah flu burung H5N1 pada 2005.

Siti melawan dengan tidak mengirimkan spesimen virus yang diminta WHO. Dia tak terima penanganan wabah harus mengikuti standar Global Influenza Surveillance Network (GSIN) karena tidak transparan dan berisiko dijadikan sebagai komoditas monopoli perdagangan vaksin.

Upaya Siti membongkar dugaan konspirasi bisnis kesehatan dunia telah dituangkan ke dalam buku Saatnya Dunia Berubah (2008) disertai pemaparan literasi dan bukti-bukti data sepanjang dia jatuh-bangun menuntaskan wabah flu burung di Indonesia.

Buku tersebut berujung kontroversi. Salinan yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris bahkan sempat dikabarkan ada yang menarik dari peredaran.


Terlepas dari polemik yang terjadi, Siti mendapat pengakuan dari dunia. Majalah The Economist di London, misalnya, menempatkan Siti sebagai tokoh yang memulai revolusi dalam menyelamatkan dunia dari dampak penyakit pandemik.

"Menteri Kesehatan Indonesia itu, telah memilih senjata yang terbukti lebih berguna daripada vaksin terbaik dunia saat ini, dalam menanggulangi ancaman virus flu burung, yakni transparansi," tulis The Economist, 10 Agustus 2006 lalu.

Selepas masa jabatan sebagai menteri kesehatan, Siti dijerat kasus oleh KPK dalam perkara dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan di kementerian yang sempat dia pimpin. Ditetapkan sebagai tersangka pada 2014, Siti baru masuk persidangan 2017 dan dijatuhi vonis 4 tahun penjara pada tahun yang sama.

Belakangan publik menggulirkan petisi agar Presiden Joko Widodo segera membebaskan Siti Fadilah karena sosoknya dibutuhkan negara dalam menghadapi wabah virus corona (covid-19) yang telah melumpuhkan dunia.

Kejanggalan sempat terjadi dalam upaya penggalangan petisi tersebut. Pada Kamis 16 April, petisi tersebut diberitakan tercatat sudah mendapatkan 42 ribu tanda tangan dari para warganet dan terus bergerak menuju angka 50 ribu. Namun pada Sabtu, 18 April 2020, tanda tangan di petisi tersebut tiba-tiba turun drastis menjadi 15 ribuan.

Siti, yang kini masih mendekam di Rutan Pondok Bambu, mewanti-wanti pemerintah agar tidak terbelenggu dengan tekanan dunia dalam menghadapi pandemi covid-19. Dia berharap pemerintah bisa lebih tangguh serta mandiri dalam menuntaskan wabah corona, dan dia pun yakin negara bisa menghadapinya.

Berikut petikan wawancara Siti Fadilah Supari yang dilakukan melalui korespondensi:

Apakah Anda pernah menduga sebelumnya bakal ada wabah lain setelah flu burung mereda? Mengapa demikian?

Ya, saya sangat menduga bahwa pandemik akan terjadi setelah pandemik avian flu atau flu burung H5N1. Karena dalam pandemik Flu Burung saya berhasil menyimpulkan berdasarkan data data yang valid bahwa ada konspirasi di balik pandemik Flu Burung (yang saya tulis di buku "SDB").

Konspirasi utama yang harus ada adalah WHO dan konspirator lain adalah pihak-pihak industri farmasi yang akan menangguk keuntungan besar dari terjadinya pandemik.

Selama dua faktor itu masih merajai, maka pandemik tetap akan terjadi.

Apa yang menyebabkan dunia dilanda wabah virus, yang umumnya berkarakteristik flu symptoms secara beruntun?

Mengapa flu? Mengingat pandemik flu yang mematikan banyak orang pada 1918. Flu virus mudah menginfeksi manusia dan punya kemampuan menyebar atau menular, maka lembaga resmi dunia WHO dengan GISN-nya waktu itu melalui laboratorium CDC Atlanta meneliti virus flu dengan segala variannya sepanjang masa.

Alasan Vaksin Covid-19 Butuh Minimal 18 Bulan Diproduksi

Sejumlah otoritas terkait dan ilmuwan percaya bahwa sukarelawan dapat diberikan kandidat vaksin dan kemudian virus corona baru untuk melihat apakah vaksin tersebut efektif dalam menghasilkan respons kekebalan dan mencegah infeksi. Jenis studi itu disebut 'uji coba tantangan' dan itu telah dilakukan sebelumnya.

Dalam studi itu, para peneliti harus menginfeksi ratusan sukarelawan muda yang sehat dengan virus corona baru dan hanya beberapa dari mereka yang akan diberikan vaksin. Sejumlah orang juga akan menerima obat plasebo sehingga hasilnya dapat dibandingkan.

Melansir BGR, sebelum vaksin diberikan, pasien harus diisolasi untuk memastikan bahwa tidak ada yang memiliki penyakit. Setelah vaksin diberikan, sukarelawan juga harus kembali diisolasi hingga masa pemulihan. Para ilmuwan harus melakukan tes rutin dan mengamati evolusi setiap pasien. 

Masalah utama dari studi itu adalah Covid-19 memiliki riwayat dapat membunuh anak muda yang shat dan orang tua. Artinya, relawan yang setuju untuk mengambil bagian dalam penelitian semacam itu sepenuhnya mengetahui apa implikasinya, yakni bisa berakhir dengan kematian. Selain itu, tidak ada jaminan juga bahwa vaksin akan efektif.

Sebuah situs web bernama 1 Day Sooner sudah mendukung uji coba vaksin dan hampir 3.500 orang dari 52 negara telah mendaftar untuk itu. Situs itu menawarkan perbandingan antara penelitian vaksin tradisional dan uji coba tantangan.

Dengan jumlah kandidat vaksin yang meningkat dengan cepat, uji coba tantangan tidak akan mungkin untuk semua obat yang diusulkan. Sebab, metode itu harus mengisolasi ratusan orang selama berminggu-minggu untuk setiap uji coba tantangan vaksin dan memberi dampak negatif bagi rumah sakit.

Vaksin yang gagal
Sebelum disedikaan secara massal, vaksin akan diuji terlebih dulu kepada relawan untuk mengetahui apakah ada efek samping di tubuh manusia (Istockphoto/ Scyther5)

Melansir CNN, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa vaksin telah menyelamatkan antara 2 dan 3 juta jiwa per tahun. Namun, riwayat penemuan vaksin juga dipenuhi dengan kegagalan, di mana orang yang menerima vaksin bernasib jauh lebih buruk daripada mereka yang tidak. 

Pada 1960-an, sebuah tes untuk vaksin RSV (human respiratory syncytial virus) gagal melindungi banyak bayi dari terkena penyakit dan menyebabkan gejala yang lebih buruk.

Pada tahun 1976, ratusan orang mengalami sindrom Guillain-Barré, gangguan langka di mana sistem kekebalan tubuh menyerang saraf, yang menyebabkan kelumpuhan. Kejadian itu setelah mereka menerima vaksin flu babi yang dilarang oleh WHO.

Lihat juga: Ahli RI Ingatkan Gelombang Dua Corona Bisa Lebih Buruk
Tahun 2017, pemerintah Filipina mendakwa 14 pejabat negara atas kematian 10 anak yang menerima vaksin demam berdarah. Hasil penyelidikan menyebut bahwa vaksinasi dilakukan secara tergesa-gesa tanpa mempertimbangkan faktor keamanan.

Bioetika Universitass Stellenbosch, Keymanthri Moodley mengatakan percepatan percobaan meningkatkan kemungkinan kegagalan profil tinggi, yang dapat membawa konsekuensi lain yang tidak diinginkan.

Secara historis, batas waktu membuat vaksin untuk patogen lain membutuhkan waktu lebih dari 18 bulan. Pada tahun 2006, vaksin rotavirus dikembangkan selama 26 tahun, di mana masa percobaan memakan waktu 16 tahun.

Sejauh ini, WHO mengatakan proses prakualifikasi tercepat yang pernah dilakukan terjadi pada vaksin Ebola.  Pengembang vaksin Ebola mengatakan butuh waktu 5 tahun hingga vaksin mendapat lisensi.