Rabu, 29 April 2020

Misteri di Balik Tingkat Kematian Rendah Akibat Virus Corona di India

Hingga tulisan ini diterbitkan, lebih dari 800 orang di India meninggal akibat Covid-19. (Getty Images)

Liputan berbagai media internasional tentang kasus Covid-19 di India adalah gabungan antara kelegaan dan juga kebingungan.

Mereka mengangkat kisah tentang 'misteri di balik tingkat kematian yang rendah'. Berbagai laporan jurnalistik itu menuding pemerintah India mempublikasikan data palsu tentang kasus Covid-19.

Ada pula sebuah liputan yang menyebut tren umum kasus Covid-19 tidak terjadi di India. Dasar argumen laporan itu adalah tingkat kematian di banyak kota besar India yang lebih rendah ketimbang episentrum wabah Covid-19 di negara lain.

Kurang lebih dua bulan setelah pemerintah India mengumumkan kasus Covid-19 pertama, lebih dari 27.000 orang di negara itu terjangkit penyakit tersebut. Lebih dari 800 orang di antaranya meninggal dunia.

Cara mendapatkan tingkat kematian adalah menghitung jumlah hari yang dibutuhkan suatu angka kematian untuk berlipat ganda.

India saat ini membutuhkan sembilan hari. Pada 25 April terdapat 825 kematian. Setengah angka kematian itu tercatat pada 16 April.

Sejumlah pakar menilai hasil hitung-hitungan itu merupakan kabar baik. Mereka berkata, angka kematian di kota New York, Amerika Serikat, meningkat dua kali lipat dalam dua atau tiga hari.

Menurut sejumlah dokter dan tenaga medis profesional, ketentuan karantina wilayah yang diterapkan secara ketat oleh pemerintah India, mampu mengontrol angka infeksi dan kematian.

Jurnal kesehatan Lancet menyebut karantina wilayah sudah memenuhi target untuk meratakan kurva kasus Covid-19.

Adapun beberapa pakar lainnya menilai populasi India yang didominasi orang-orang berusia muda membuat angka kematian itu tidak memburuk.

Sebagaimana disebut dalam berbagai laporan, orang-orang berusia lanjut memiliki risiko kematian yang lebih besar jika mengidap Covid-19.

Namun ada pula yang menyebut kemungkinan virus corona baru yang tidak lebih mematikan ketimbang di negara lain. Mereka mengaitkannya dengan cuaca panas yang diyakini memutus penyebaran virus SARS-CoV-2 tersebut.

Walau begitu, argumentasi tadi tidak didukung bukti ilmiah. Faktanya, para dokter yang menangani pasien kritis Covid-19 di India berkata kepada saya bahwa virus corona baru yang menyebar di negara ini sama berbahayanya dengan di negara lain.

Pertanyaannya, mengapa India mencatat tingkat kematian yang lain dibandingkan sebagian besar negara lain?

"Berkata sejujurnya, saya tidak tahu dan masyarakat internasional pun tidak tahu," kata fisikawan dan pakar onkologi Siddartha Mukherjee baru-baru ini.

"Saya akan menyebut tren ini sebagai sebuah misteri dan sebagian dari fakta yang masih abu-abu ini adalah bahwa India belum menggelar cukup banyak tes Covid-19."

"Jika kita menguji lebih banyak orang, maka kita akan mendapatkan jawabannya," ujar Mukherjee.

Mukherjee menyebut tes diagnostik yang menentukan apakah seseorang terinfeksi dan uji antibodi untuk mengetahui seseorang pernah terjangkit atau dinyatakan sembuh.

Virus corona

Pertanyaan lain yang belum terjawab adalah apakah India luput mencatat sejumlah kematian akibat Covid-19.

Terdapat banyak kematian yang tidak tercatat di berbagai negara yang sangat terdampak virus ini.

Setelah menelusuri data kematian di 12 negara misalnya, New York Times menemukan bahwa ada 40.000 kematian yang tidak tercatat di data resmi, Maret lalu.

Kematian itu adalah yang terbukti berkaitan erat dengan Covid-19 maupun yang didorong penyebab lainnya.

Analisis Financial Times terhadap kematian selama pandemi Covid-19 di 14 negara menemukan bahwa jumlah kematian akibat virus ini sebenarnya 60% tinggi dibandingkan data resmi.

Namun India dalam data yang ditelisik oleh New York Times dan Financial Times itu.

Prabhat Jha, akademisi dari University of Toronto yang memimpin proyek ambisius bertajuk Million Death Study, menilai kematian yang tidak tercatat harus masuk dalam perhitungan ini.

"Karena sebagian besar kematian terjadi di rumah, setelah ini dibutuhkan sistem penghitungan lain di India," ujar Jha kepada saya.

Sekitar 80% kematian di India memang terjadi di rumah. Ini termasuk kematian akibat malaria dan penyakit paru. Kematian akibat persalinan, serangan jantung, dan kecelakaan adalah jenis kematian yang lebih sering dicatat pihak rumah sakit.

"Banyak orang di India mendapat penanganan medis secara terus-menerus, pulang, lalu meninggal di rumah," kata Jha.

Jelas, hanya menghitung kematian yang terjadi di rumah sakit tidak cukup untuk mendapatkan angka kematian akibat Covid-19 yang akurat.

Relasi Kusut AS-China Akibat Virus Corona

Di tengah situasi dunia yang kalut atas pandemi virus corona, Amerika Serikat dan China terus melanjutkan perseteruan mereka.

Kedua negara tersebut juga belum lama terlibat perang dagang yang membuat ketar-ketir banyak negara atas dampak yang ditimbulkan.

Sejak wabah itu merebak di China pada akhir 2019, awalnya Presiden AS, Donald Trump, masih yakin dengan menyatakan mereka sanggup mengatasinya dengan melakukan pengujian massal.


Akan tetapi, sikap Trump berubah ketika wabah corona di China semakin menurun, tetapi jumlah kasus di AS perlahan merangkak naik, dan bahkan kini sudah mencapai lebih dari 1 juta.

Trump mulanya menyebut virus corona sebagai virus Wuhan. Sebab, wabah itu pertama kali merebak di Kota Wuhan yang merupakan ibu kota provinsi Hubei, China.

Setelah jumlah kasus infeksi di AS semakin banyak, satuan tugas penanganan virus corona yang dipimpin Wakil Presiden AS, Mike Pence, menuduh China tidak memberikan data secara lengkap mengenai penyebaran virus corona di Wuhan.

Tuduhan lain lantas diarahkan kepada Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Trump mengatakan WHO tidak terbuka mengenai wabah virus corona dan dinilai terlalu berpihak kepada China.

Kemudian, Trump menuduh virus corona adalah hasil rekayasa yang dilakukan di laboratorium Institut Virologi Wuhan. AS juga mendesak supaya China membuka akses untuk para pakar dunia memeriksa kegiatan dan standar baku kegiatan di lokasi tersebut.

China lantas bereaksi keras enggan memberikan izin dan membantah semua tuduhan tersebut.

Negeri Tirai Bambu balik menuding dengan menduga ada keterlibatan AS dalam penyebaran virus corona. Sampai-sampai muncul dugaan virus tersebut adalah senjata biologis.

Perseteruan tersebut lantas membuat Trump menyatakan mencabut bantuan anggaran bagi WHO dan kemungkinan tidak akan melanjutkannya sampai kapanpun. Di sisi lain, China langsung menanggapi dengan memberi dana tambahan jutaan dolar kepada WHO.

Trump meyakini bahwa China seharusnya bisa mencegah wabah virus corona menjadi pandemi yang mempengaruhi dunia. Sejumlah sekutu AS seperti Australia dan Inggris juga meminta keterbukaan China terkait data virus corona.

"Ada banyak cara yang bisa kami lakukan untuk membuat mereka bertanggung jawab. Kami sedang melakukan investigasi dengan serius seperti yang kalian semua ketahui dan kami tak senang dengan situasi yang ada saat ini," ucap Trump dalam sesi konferensi pers dikutip dari Associated Press, Selasa (28/4) kemarin.

Pemerintah China seolah membalas diplomasi koboi ala AS dengan mengelak bak jurus-jurus kung-fu. Selain menanggapi, mereka juga gencar mengirim bantuan kepada sejumlah negara sahabat untuk penanganan virus corona, termasuk mengisi kekosongan pengaruh AS di WHO.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Geng Shuang, sempat mengatakan bahwa mereka bukan musuh AS di tengah situasi pandemi corona dan menyarankan supaya bersama-sama saling membantu. Meski begitu, hal tersebut tidak membuat China lantas bersikap mengalah.

"Mereka (AS) hanya memiliki satu tujuan: melalaikan tanggung jawab atas tindakan pencegahan dan pengendalian epidemi yang buruk, dan mengalihkan perhatian publik," kata Geng kepada wartawan dalam jumpa pers pada Selasa kemarin, seperti dikutip dari AFP.

AS dan China kini diibaratkan sebagai dua raksasa dunia. Mereka saling berebut pengaruh di seluruh kawasan dunia. Persaingan itu semakin sengit ketika Presiden China, Xi Jinping, menggulirkan program Belt and Road untuk memperluas jejaring persahabatan dengan negara lain melalui proyek infrastruktur.

Sedangkan AS juga mati-matian berusaha supaya sekutunya tidak jatuh ke dalam dekapan China.