Kamis, 30 April 2020

Haruskah Bahan Makanan Dicuci Pakai Sabun Agar Bebas Virus Corona?

Persediaan kebutuhan pokok seperti bahan makanan, buah, dan sayur perlu disiapkan selama menjalani puasa di tengah pandemi virus Corona. Tetapi untuk mencegah terjadinya penularan virus, apakah perlu mencuci bahan makanan dengan menggunakan sabun sebelum diolah?
Menurut ahli gizi komunitas dr Tan Shot Yen, hingga kini belum ada penelitian yang menyatakan bahan makanan bisa menjadi perantara penularan virus.

"Belum ada penelitian yang menyebut sayur dan buah atau belanjaan kalian itu sebagai media untuk penularan virus," kata dr Tan, Rabu (29/4/2020).

"Prinsipnya adalah justru sebelum dan sesudah kamu menyentuh makanan-makanan itu, kamu harus cuci tangan selama 20 detik dan mencucinya harus benar," lanjutnya.

dr Tan juga mengatakan jika bahan makanan dicuci menggunakan sabun atau antiseptik justru akan berbahaya bila tidak dicuci sampai bersih.

"Yang lebih bahayanya lagi adalah kalau mengolah makanan dengan segala cairan antiseptik dan sebagainya atau dengan sabun lalu itu tersisa di dalam makanan dan kalian makan, ya wasalam," tuturnya.

Tak Dianjurkan Langsung Makan Berat Saat Berbuka, Ini Alasannya

Banyak orang yang menjadikan buka puasa sebagai ajang balas dendam atau makan dan minum dengan porsi banyak. Namun kebiasan ini ternyata dapat berdampak buruk bagi tubuh.
dr Tan Shot Yen, seorang ahli gizi komunitas mengatakan buka puasa yang baik seharusnya diawali dengan minum air putih. Hal ini penting untuk mengembalikan cairan dalam tubuh saat seseorang berpuasa.

"Paling penting membatalkan puasa adalah rehidrasi. Rehidrasi yang utama adalah air putih, bukan kolak, bukan es teh manis, dan bukan cendol," ujar dr Tan, Rabu (29/4/2020).

Menurutnya, kebiasan terlalu banyak menyantap makanan saat buka puasa dapat berakibat buruk bagi tubuh. Dampaknya dapat menyebabkan sakit perut hingga muntah.

"Sebab kita puasa 13 jam kurang lebih, lalu tiba-tiba dihajar makanan berat, itu sebabnya kalian mengalami yang disebut dengan sakit perut," kata dr Tan.

Penting bagi seseorang mengatur jadwal makan dan minum secara teratutr selama berpuasa. Kemudian dr Tan menyarankan saat buka konsumsi makanan seadanya agar dapat makan makanan yang bergizi pada jeda waktu setelah buka.

"Kalau seandainya kita membatalkan puasa dengan cara yang sopan cuma sekedar membatalkan puasa minum air dan hanya dengan kurma. Maka abis salat Magrib perut kita udah ready tuh, bisa makan yang lebih benar dengan isi piring komplit," lanjutnya.

"Kalau Anda makan kebanyakan juga akhirnya air yang mestinya diminum delapan gelas gak punya tempat. Padahal rehidrasi itu sama pentingnya dengan makan," pungkasnya.

Rutin Konsumsi Kurma Saat Berbuka, Ini Manfaatnya Bagi Tubuh

 Kurma jadi primadona saat bulan Ramadhan. Saat berbuka puasa, umat Muslim juga dianjurkan konsumsi kurma 2-3 butir per hari. Kandungan kurma yang manis bisa mengembalikan kadar gula darah yang sempat turun setelah seharian berpuasa.
Selain itu kurma juga kaya akan serat dan mengandung protein tinggi serta kalsium, magnesium, dan Vitamin B6 yang tentunya baik untuk tubuhmu.

Mengonsumsi kurma secara rutin terutama saat berbuka puasa akan memberikan manfaat ekstra. Berikut yang terjadi pada tubuh jika rutin mengonsumsi kurma dikutip dari berbagai sumber.

1. Meningkatkan kesehatan tulang
Kurma mengandung selenium, magnesium, dan zinc yang semuanya penting untuk kesehatan tulang. Para ahli sepakat bahwa makan kurma secara rutin secara signifikan dapat mengurangi risiko osteoporosis di kemudian hari.

2. Meningkatkan kesehatan jantung
Kandungan kalium pada kurma sangat bermanfaat untuk menurunkan kadar LDL atau kolesterol jahat yang dapat menyebabkan penyumbatan arteri penyebab stroke dan serangan jantung.

3. Tinggi antioksidan
Antioksidan membantu melindungi tubuh dari radikal bebas. Antioksidan menargetkan molekul yang tidak stabil yang bereaksi pada senyawa dalam tubuh dan menyebabkan penyakit. Beberapa antioksidan yang ditemukan dalam kurma adalah flavonoid, karotenoid, dan asam fenolik yang dapat membantu mengatasi diabetes, Alzheimer dan kanker.

4. Memperbaiki kulit
Kurma kaya akan vitamin C dan vitamin D yang bisa meningkatkan elastisitas kulit dan membuatnya lebih halus. Makan kurma secara teratur dapat membantu kulit terlihat lebih muda dan mencegah penumpukan melanin sehingga memerangi penuaan dini.

5. Terhindar dari kanker usus besar
Kurma dapat melancarkan sistem pencernaan karena kandungan seratnya yang cukup tinggi. Salah satu yang mendapatkan manfaatnya adalah usus besar sehingga mampu mengurangi risiko kanker usus besar.

Sebuah penelitian yang dilakukan Department of Food and Nutritional Sciences menemukan bahwa mengonsumsi kurma secara teratur dapat meningkatkan kesehatan usus besar karena kurma meningkatkan pertumbuhan bakteri baik dan menghambat pertumbuhan sel kanker.

Rabu, 29 April 2020

Misteri di Balik Tingkat Kematian Rendah Akibat Virus Corona di India

Namun menurut Srinath Reddy, presiden di Public Health Foundation of India, tidak ada laporan tentang melonjaknya kematian di rumah sakit. Artinya, tidak mungkin ada kematian dalam kategori itu yang tidak tercatat.

Misalnya, jumlah kematian anak yang besar di sejumlah rumah sakit di wilayah India utara dalam beberapa tahun terakhir secara jujur dilaporkan dan dicatat.

Hal serupa, menurut Reddy, juga terjadi pada angka kematian di rumah yang disebutnya tidak mungkin tak tercatat.

Sejumlah pakar berkata, tanpa sistem pengawasan kesehatan yang mumpuni, ponsel dapat digunakan untuk mengetahui peningkatan kematian yang diduga akibat Covid-19.

Lebih dari 850 juta penduduk India merupakan pengguna telepon genggam. Mereka dapat didorong melaporkan kematian tidak wajar di kampung mereka ke pusat kontak yang tak memakan pulsa.

Pemerintah India lalu bisa menindaklanjuti laporan itu dengan mengunjungi keluarga maupun menggelar 'otopsi verbal'.

Menghitung kematian selalu menjadi sebuah proyek yang penuh ketidakpastian di India.

Setidaknya 10 juta orang di India meninggal setiap tahun. Menurut kajian Million Death Study, ada jumlah kematian yang lebih besar daripada angka faktual.

Misalnya, hanya ada 100.000 kematian prematur akibat HIV pada 2005 di India. Jumlah itu seperempat dari estimasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Menurut kajian yang sama, ada pula kematian yang tidak tercatat sepenuhnya di India. Kematian akibat malaria misalnya, lima kali lebih rendah ketimbang yang diestimasi WHO.

Berdasarkan keterangan resmi pemerintah India, hanya 22% kematian yang disertai akta kematian.

Lalu ada pula pertanyaan tentang bagaimana pemerintah India mendefinisikan kematian akibat Covid-19.

Sejumlah dokter di India melaporkan bahwa banyak orang meregang nyawa setelah mengalami gejala klinis Covid-19. Mereka tidak menjalani tes atau ditangani dengan protokol yang tepat.

Lantas ada pertanyaan apakah sebenarnya terdapat diagnosis yang keliru dalam berbagai kasus itu. Di India terdapat catatan tentang kasus salah diagnosis yang berujung kematian pasien.

Jean-Louis Vincent, profesor yang bertugas di ruang perawatan intensif Erasme University Hospital, Belgia, mengatakan bahwa terdapat kasus Covid-19 yang tidak tercatat di berbagai negara, termasuk India.

"Saat Anda mengaku mengalami demam dan persoalan pernafasan sebelum meninggal, Anda mungkin diduga kuat mengidap Covid-19. Tapi bisa saja penyebabnya adalah hal lain," kata Vincent.

Virus corona

"Kematian kerap diawali infeksi, walau kadang-kadang gejalanya minor. Jika Anda tidak menjalani tes, Anda mungkin mengkaitkan banyak kematian dengan Covid-19 atau menyanggah seluruhnya."

"Itulah mengapa tingkat kematian akibat Flu Spanyol pada tahun 1918 sangat beragam," ujarnya.

Vincent tidak yakin apakah perhitungan kematian akan mengungkap gambaran utuh tentang penularan virus ini.

"Mencatat angka kematian akibat Covid-19 tidak ada artinya untuk mengevaluasi seberapa mematikan penyakit itu."

"Jumlah kasus yang ditangani rumah sakit mengungkap lebih banyak hal, tapi tidak termasuk kematian yang tidak mereka pegang," kata Vincent.

Menurut sejumlah pakar, banyak pemerintahan secara alamiah mengatur data kematian untuk mencegah kecemasan publik.

"Tapi tidak ada satupun pihak secara sengaja menutupi kasus kematian. Anda tidak bisa menyembunyikan kematian dalam jumlah besar," kata Prabhat Jha dari University of Toronto.

"Penelusuran jumlah kematian jauh lebih bisa dipercaya ketimbang menghitung kasus yang mengandung bias hasil tes. Namun kuncinya adalah memastikan semua kematian atau contoh acak kasus itu terdata," ujar Jha.

India barangkali melewatkan sejumlah kematian dan tidak mendiagnosis pasien secara tepat. Namun saat ini tidak terbantahkan bahwa tingkat kematian mereka rendah.

Meski begitu terlalu dini menyebut India telah menyembunyikan data kematian yang sesungguhnya.

"Jujur, kita belum tahu apakah itu benar atau tidak," kata seorang pakar kepada saya.