Kamis, 07 Mei 2020

Bioskop Inggris Bersiap Buka Pertengahan Juli

Jaringan bioskop terbesar di Inggris, Vue Cinemas, memperkirakan mereka bisa kembali beroperasi pada pertengahan Juli setelah tutup akibat pandemi Covid-19.

CEO Vue Cinema, Tim Richards, membuka kemungkinan tersebut meski saat ini masih dalam tahap pembahasan dengan pemerintah, terutama mengenai kebijakan jaga jarak.

Namun menurutnya, pengoperasian kembali pada pertengahan Juli sangat mungkin dilakukan sebab bioskop memiliki sistem yang berbeda dari konser musik atau hiburan lainnya.

"Kami bisa mengatur total orang yang masuk satu studio bersamaan. Kami juga bisa mengatur jadwal penayangan hingga jalur masuk serta keluar para penonton," kata Tim Richards.

Richards mengatakan bahwa jaringan bioskopnya bersama yang lain sudah bersiap untuk semua kemungkinan. Ia sendiri melihat keinginan yang kuat dari masyarakat dan studio film terkait penayangan ini.

"Kami melihat dukungan yang besar dari semua sektor. Distributor ingin film mereka tayang di layar lebar dan penonton juga ingin melihat hal tersebut," tutur Richards seperti dilansir NME.

Apabila bioskop berhasil dibuka pertengahan Juli, kata Richards, Tenet akan menjadi film pertama yang ditayangkan menyeluruh di Inggris.

Film terbaru karya Christopher Nolan ini tetap dijadwalkan tayang 17 Juli, di saat puluhan film lainnya tunda tayang hingga 2021.

Ia juga meyakini layar lebar masih memiliki tempat tersendiri di hati penikmat film meski sejumlah karya terpaksa rilis lebih dulu di layanan streaming di tengah pandemi Covid-19.

"Layar lebar masih disukai. Apakah bisa membayangkan menonton film terbaru James Bond hanya di layar 27 inch?" katanya.

No Time To Die juga menjadi salah satu film yang dijadwalkan tayang tahun ini. Awalnya, film terakhir Daniel Craig sebagai James Bond itu diagendakan tayang April 2020, tapi ditunda hingga November.

Berdasarkan data Johns Hopkins pada Rabu (6/5) pagi, Inggris menempati posisi ke-4 negara dengan kasus Covid-19 terbanyak di dunia. Inggris melaporkan 196.243 kasus dengan 29 ribu orang di antaranya meninggal dunia.

Seperti Paulo Dybala, Mengapa Ada Orang yang Lama Sembuh dari Corona?

Pemain klub bola Juventus, Paulo Dybala, akhirnya dinyatakan sembuh setelah satu bulan lebih dirawat karena infeksi virus Corona COVID-19. Dybala membutuhkan waktu relatif lebih lama untuk sembuh bila dibandingkan rekannya yang lain.
"Wajahku mengatakan segalanya, aku akhirnya sembuh dari COVID-19!" tulis pemilik julukan La Joya itu di akun Instagramnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, Dybala menjadi salah satu pemain Juventus yang terinfeksi virus corona selain Daniele Rugani dan Blaise Matuidi sejak Maret silam. Rugani dan Matuidi sendiri telah dinyatakan sembuh sejak 15 April 2020.

Satu teori menyebut perbedaan waktu kesembuhan ini kemungkinan berkaitan dengan sistem imun. Biasanya pasien yang menunjukkan gejala parah butuh waktu lebih lama untuk sembuh.

"Beberapa pasien ada yang masih batuk-batuk dan kami juga melihat pasien yang merasa lemas dan lelah berkepanjangan selama tiga, empat, lima, atau enam minggu," kata Dr Philip Gothard, dokter dari London's Hospital for Tropical Diseases.

Ahli epidemiologi Profesor Tim Spector dari King's College London mengatakan rata-rata pasien yang terinfeksi bisa mulai sembuh setelah 12 hari. Namun, memang ada juga yang melaporkan butuh waktu sampai 30 hari lebih.

"Saat data mulai banyak tersedia dan kami terus menggunakan kecerdasaan buatan untuk menganalisanya, akan segera terlihat apa saja dari faktor gejala dan risiko yang dapat membuat seseorang lebih rentan mengalami gejala jangka panjang ini," kata Tim seperti dikutip dari BBC, Kamis (7/5/2020).

Isu ABK WNI di Kapal China, Respons Kemenlu Dinilai Normatif

Organisasi yang bergerak di bidang perlindungan pekerja migran Migrant CARE menilai pemerintah Indonesia masih belum menyentuh pokok persoalan kasus ABK WNI yang diduga dieksploitasi di kapal ikan berbendera China, baru-baru ini, meski telah mengeluarkan respons melalui Kementerian Luar Negeri.

"Migrant CARE menilai respons Kementerian Luar Negeri RI bersifat normatif namun belum menukik pada pokok persoalan apakah sudah ada desakan bagi investigasi pelanggaran hak asasi manusia, juga belum ada pernyataan tegas untuk memastikan pemenuhan hak-hak ABK tersebut," kata Direktur Eksekutif Migrant CARE, Wahyu Susilo dalam pernyataannya seperti yang diterima CNNIndonesia.com, Kamis (7/5).

Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri Indonesia Judha Nugraha sebelumnya menyatakan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Beijing, China telah mengambil sikap dengan menyampaikan nota diplomatik untuk meminta klarifikasi mengenai kasus ini.

Meski Kementerian Luar Negeri RI telah mengeluarkan sikap, Migrant CARE menilai bahwa respons tersebut belum cukup karena belum mendapatkan tanggapan dari Kementerian Ketenagakerjaan dan Badan Perlindungan Migran Indonesia.

"Migrant CARE mendesak Kementerian Ketenagakerjaan dan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia untuk bersikap pro-aktif memanggil para agen pengerah ABK tersebut (berkoordinasi dengan Kementerian Perhubungan) untuk meminta pertanggungjawaban korporasi dan apalagi ditemukan pelanggaran hukum harus diteruskan melalui mekanisme hukum yang berlaku," kata Wahyu.

Menurut Migrant CARE, kasus ABK WNI di kapal ikan China ini menggambarkan kondisi pekerja migran Indonesia, terutama di sektor kelautan, semakin suram.

Migrant CARE juga menyinggung sejumlah kasus sebelumnya, seperti ribuan pekerja asal Indonesia di kapal pesiar yang jadi korban Covid-19.

Wahyu dalam pernyataannya juga menyebut kondisi rentan para pekerja migran Indonesia di sektor kelautan dan perikanan juga dipicu tidak ada instrumen perlindungan yang memadai.

"Meskipun UU No. 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia mengamanatkan adanya aturan khusus mengenai Pelindungan Pekerja Migran di sektor Kelautan dan Perikanan, namun hingga saat ini aturan turunan tersebut belum terbit," kata Wahyu.

"Bahkan terlihat ada kecenderungan berebut kewenangan antara Kementerian Perhubungan, Kementerian Ketenagakerjaan dan Badan pelindungan Pekerja Migran Indonesia," lanjutnya.

"Politik luar negeri dan diplomasi juga belum maksimal dalam memperjuangkan penegakan hak asasi pekerja migran di sektor kelautan dan perikanan, terkait dengan implementasi dan komitmen antar negara dalam pelindungan pekerja di sektor kelautan." katanya.

Menurut laporan eksklusif MBC, yang dilansir Rabu (6/5), dugaan eksploitasi di kapal ikan berbendera China itu berasal dari laporan sejumlah ABK WNI yang bekerja di kapal tersebut. Namun, mereka tidak menuliskan nama kapal itu.

Media itu menyatakan sejumlah WNI ABK melapor bahwa mereka diperlakukan dengan buruk di kapal ikan tersebut. Yakni bekerja hingga 18 sampai 30 jam, dengan istirahat yang minim, hingga sakit dan meninggal dunia. Jenazah pelaut Indonesia kemudian dilaporkan dibuang ke laut dengan upacara seadanya.

"Dalam penjelasannya, Kemlu RRT (Republik Rakyat Tiongkok) menerangkan bahwa pelarungan telah dilakukan sesuai praktik kelautan internasional untuk menjaga kesehatan para awak kapal lainnya," kata Judha lewat siaran pers, Kamis (7/5).

"Guna meminta penjelasan tambahan mengenai alasan pelarungan jenazah (apakah sudah sesuai dengan Ketentuan ILO) dan perlakuan yang diterima ABK WNI lainnya, Kemlu akan memanggil Duta Besar RRT," lanjutnya.

Judha juga menegaskan bahwa pemerintah Indonesia serius dalam menanggapi kabar WNI menjadi korban eksploitasi di kapal ikan China.

Kapal tersebut berbendera China Long Xin 605 dan Tian Yu 8 yang beberapa hari lalu berlabuh di Busan, Korsel. Kedua kapal tersebut membawa 46 awak kapal WNI dan 15 diantaranya berasal dari Kapal Long Xin 629.