Sejak pandemi virus corona merebak, pergerakan manusia jadi terbatas, termasuk upaya untuk belanja. Perilaku masyarakat pun berubah. Banyak dari mereka yang beralih menggunakan jasa belanja online untuk membeli kebutuhan sehari-hari sampai makanan.
Namun apa yang harus dilakukan ketika menerima paket tersebut. Anda memang tak bersentuhan dengan si pengantar paket, namun apakah virus tersebut tak menempel di paket belanja Anda? Haruskah menyemprotkan cairan disinfektan ke paket sebelum membukanya?
Virus corona dapat bertahan di beberapa jenis permukaan selama sembilan hari atau lebih sehingga menimbulkan kekhawatiran untuk menyentuh paket belanja online.
Mengutip Cnet, Centers for Disease Control and Prevention mengungkapkan kemungkinannya sangat kecil bahwa virus corona bisa menyebar lewat paket yang sudah dipindahtangankan berkali-kali dalam beberapa hari. WHO juga mengungkapkan bahwa kecil kemungkinannya paket belanjaan Anda akan terkontaminasi setelah terekspos ke berbagai kondisi lingkungan yang berbeda, meskipun ada risiko orang yang melakukan kontak dengan virus tersebut, disebut sangat rendah kemungkinannya.
Lalu bagaimana dengan paket yang datang di hari yang sama, misalnya pesan antar makanan? Food and Drug Administration mengungkapkan tak ada bukti bahwa virus bisa menyebar melalui makanan atau paket.
Namun tak ada salahnya untuk tetap berhati-hati. Setelah menerima paket, Anda bisa saja menyemprotkannya dengan disinfektan dan mendiamkannya selama 15 menit kemudian mengelapnya. Jangan lupa cuci tangan maksimal 20 detik setelah memengang paket Anda. Buang pembungkusnya dan cuci lagi tangan Anda.
Hanya saja jangan semprot disinfektan ke paket makanan Anda. Ada hanya perlu mencuci tangan setelah memegang paketnya, mengeluarkan semua makanan dan jika memungkinkan hangatkan makanan tersebut.
Corona Ancam Upaya Perang Lawan TBC dalam 5 Tahun Terakhir
Pandemi virus corona (SARS-CoV-2) tak hanya mengancam aspek kesehatan, sosial, juga ekonomi masyarakat, melainkan juga mengadang upaya memerangi penyakit lain, yakni tuberkulosis (TBC).
Pelbagai organisasi yang tergabung dalam Stop TB Partnership memperkirkan pandemi Covid-19 turut mengancam usaha pencegahan melawan TBC sepanjang lima hingga delapan tahun belakangan.
Kajian terbaru yang dikerjakan Stop TB Partnership global, Imperial College, Avenir Health dan, Universitas John Hopkins bersama USAID mengindikasikan peningkatan jumlah penderita TBC hingga 6,3 juta orang dalam kurun lima tahun ke depan. Kajian pemodelan yang diterbitkan awal Mei 2020 ini fokus pada tiga negara rentan yakni India, Kenya dan Ukraina.
Hasil pemodelan yang diterima CNNIndonesia.com menyimpulkan, secara global, potensi penambahan kasus TBC tersebut ditengarai ada andil dari pembatasan aktivitas 3 bulan terakhir dan upaya pemulihan kondisi sepanjang 10 bulan. Selain penambahan 6,4 juta kasus pada 2025, angka kematian di dunia juga diperkirakan bertambah 1,4 juta kasus.
Situasi pandemi disebut menjadikan deteksi TBC dan pengawasan terhadap pasien TBC menurun. Padahal pasien harus minum obat secara teratur.
Sementara untuk Indonesia, kajian menyebut bahwa aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa daerah membuat 25 persen Puskesmas tak lagi melakukan diagnosis TBC melalui pemeriksaan dahak. Selain itu, pasien pun kesulitan mengunjungi fasilitas kesehatan untuk kontrol dahak, suntik atau konsultasi klinis.
"Kader dan pendampingan pasien TBC menyampaikan tantangan terbesar pasien adalah transportasi karena tidak semua rumah tangga pasien TBC memiliki kendaraan pribadi. Sebelumnya beberapa pasien menggunakan ojek untuk ke RS atau Puskesmas," kata Esty Febriani,Penasihat Senior Program TBC Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama melalui sebuah pernyataan resmi.