Para dokter terkemuka di Inggris menemukan bahwa penggumpalan darah yang terjadi dan berbahaya bagi pasien virus Corona COVID-19 yang serius, bisa diatasi dengan obat pengencer darah. Ini juga bisa menyelamatkan nyawa para pasien.
Gumpalan darah yang terjadi pada pasien COVID-19 yang kondisinya parah bisa sangat mematikan. Tetapi, hal ini bisa dihindari dengan obat pengencer darah dan scan CAT hi-tech yang juga membantu dalam pengobatan.
Para petugas medis di Inggris pun mengedukasi rumah sakit yang menangani pasien COVID-19 dengan panduan terbaru mengenai obat pengencer darah.
"Saya pikir sebagian besar pasien akan mendapat dosis obat pengencer darah yang tepat dan signifikan untuk mengobatinya, dan kita perlu lebih banyak belajar tentang penyakit ini," kata Dr Brijesh Patel, konsultan perawatan intensif di Rumah Sakit Royal Brompton, yang dikutip dari Daily Star, Senin (18/5/2020).
Namun, petugas medis juga memperingatkan bahwa obat-obatan yang dikenal dengan anti-koagulan ini harus digunakan dengan cara yang tepat. Hal ini untuk menghindari kerusakan yang tidak diinginkan hingga berujung kematian.
"Pembekuan intravaskular ini sangat tidak baik dan belum pernah kita lihat sebelumnya pada virus lainnya. Ini semacam gambaran klinis yang tak biasa, di mana oksigen dalam tubuh rendah tapi tidak terengah-engah," kata Penasihat Ilmiah Pemerintah untuk Keadaan Darurat (Sage), Profesor Peter Openshaw.
Kematian Corona di Spanyol di Bawah 100 Perhari, Pertanda Baik?
Pertama kalinya dalam 2 bulan terakhir, kematian akibat virus Corona COVID-19 di Spanyol berada di bawah angka 100 kasus perhari. Dikutip dari Reuters, Spanyol hanya mencatatkan 87 kematian pada Minggu (17/5/2020).
Dengan penambahan ini, total jumlah kematian akibat virus Corona COVID-19 di negeri matador mencapai 27.650 kasus. Sementara total kasus positif telah mencapai 231.350 kasus.
Dalam rangka mengendalikan penularan virus, Spanyol menerapkan salah satu lockdown paling ketat di Eropa. Hasilnya, jumlah kasus baru maupun kematian secara teratur mengalami penurunan.
Beberapa tempat di negara ini mulai melonggarkan lockdown, sehingga warga mulai bisa berjalan-jalan. Namun di Madrid dan Barcelona, pembatasan yang lebih ketat masih akan diberlakukan.
Terkait angka kematian perhari yang menurun, kepala kedaruratan kesehatan Fernando Simon mengingatkan adanya kemungkinan delay atau penundaan laporan di akhir pekan. Meski demikian, ia memastikan otoritas kesehatan masih memiliki sumber daya yang cukup untuk menangani pasien.
Seorang dokter di Madrid mengungkapkan kekhawatirannya jika terjadi gelombang kedua penyakit tersebut.
"Saya harus katakan kami belum siap menghadapi gelombang kedua meski lebih kecil," kata dokter yang hanya disebut nama depannya, Belen.
Ahli Biologi Mengklaim Virus Corona Bukan dari Hewan
Para ilmuwan mengklaim bahwa penyebaran virus Corona bukan berasal dari pasar Wuhan. Hal ini diungkapkan oleh Alina Chan, seorang ahli biologi molekuler dan Shing Zhan ahli biologi evolusi dari China.
Ahli biologi ini percaya bahwa dari data yang telah dianalisis, virus itu dibawa ke pasar oleh seseorang yang memang sudah memiliki penyakit itu dan menularkannya.
Mereka meyakini saat dilihat dari data genetik yang tersedia, sama sekali tidak menunjukkan adanya penularan silang spesies di pasar. Para ahli biologi ini bersikeras bahwa penularan hewan ke manusia atau zoonosis yang disebut sebagai media penularan pertamanya harus kembali diselidiki.
"Kemungkinan ada prekursor yang direkayasa secara non-genetik dapat beradaptasi dengan manusia, dan itu harus dipelajari serta dipertimbangkan lagi di laboratorium," tulis makalah tersebut yang dikutip dari Daily Star, Senin (18/5/2020).
Namun, jika ini ingin diselidiki kembali akan sulit dilakukan. Hal ini karena pasar telah ditutup dan didesinfeksi .
"Lokasi utamanya benar-benar sudah dibersihkan. Bagaimana kita bisa menyelesaikan kasus ini tanpa bukti?," kata pakar Universitas Hong Kong, Guan Yi.
"Bukti yang sangat kuat menunjukkan bahwa wabah tersebut terkait dengan adanya paparan di satu pasar makanan laut di Wuhan," kata Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) beberapa waktu lalu.