Seorang pria di Ghaziabad, India menjadi korban pemerasan dan diminta membayar 100 juta Rupee (Rp 19,2 miliar). Rupanya pelaku pemerasan adalah putranya sendiri yang berusia 11 tahun setelah berpura-pura menjadi hacker.
Kasus ini berawal saat pria tersebut melapor ke polisi pada pekan lalu setelah diancam oleh 'kelompok hacker' yang meretas emailnya untuk membayar tebusan sebesar 100 juta Rupee.
Hacker tersebut mengancam si pria yang identitasnya dirahasiakan bahwa jika ia tidak membayar tebusan, foto-foto tidak senonohnya dan informasi pribadi anggota keluarganya akan diumbar secara online.
Berdasarkan keterangan korban, email miliknya diretas pada 1 Januari lalu. Ia mengatakan hacker mengubah password dan nomor telepon yang tercantum di emailnya, seperti dikutip dari India Today, Minggu (7/2/2021).
Setelah itu ia menerima email yang berisi ancaman untuk membayar 100 juta Rupee. Hacker yang mengancam korban juga mengaku mereka selalu mengawasi keluarganya dan tidak berhenti mengganggu keluarganya.
Setelah melaporkan kasus ini ke polisi, mereka menemukan bahwa alamat IP si hacker berasal dari alamat rumah korban. Artinya, email berisi ancaman tersebut dikirimkan oleh seseorang yang tinggal bersama pria itu.
Polisi kemudian menyelidiki anak laki-laki korban yang berusia 11 tahun. Bocah tersebut kemudian mengaku bahwa ia adalah orang di balik pemerasan tersebut.
Kepada polisi, bocah tersebut mengatakan ia mempelajari banyak hal tentang hacker dan kejahatan siber dengan menonton video di YouTube. Setelah belajar dari YouTube, ia kemudian mengirimkan email dari beberapa alamat dan meminta uang.
Saat ini kepolisian masih melanjutkan investigasi, jadi nasib bocah tersebut belum diketahui dan apakah ia akan didakwa atau tidak.
https://indomovie28.net/movies/les-vampires/
Militer Myanmar Matikan Akses Internet
Para pemimpin militer Myanmar memperluas pembatasan internet dalam upaya untuk membatasi aksi demonstrasi terhadap kudeta mereka. Kali ini akses internet di Myanmar dimatikan.
Adapun pemadaman internet dilakukan nyaris sepenuhnya. Konektivitasnya hanya 16% dari level normal. Dikutip dari NetBlock, sebelumnya warga Myanmar masih bisa mengakali pakai VPN untuk mengakses sejumlah media sosial dan layanan yang diblokir. Namun kini, nyaris semua orang tidak bisa mengakses apapun di internet.
Pemadaman internet dilakukan hanya beberapa jam setelah Myanmar memblokir Instagram dan Twitter. Artinya, larangan ini semakin diperluas dari sebelumnya hanya menyasar Facebook. Kementerian Informasi Myanmar mengklaim pada 2 Februari bahwa pendemo memanfaatkan jejaring sosial untuk memicu kegaduhan.
Tidak pasti apakah atau kapan rezim militer Myanmar akan mencabut pembatasan. Yang jelas, kalaupun pembatasan dicabut, hal itu tidak mungkin dilakukan dalam waktu dekat, karena protes skala besar terus berlanjut meskipun ada tindakan baru.
Myanmar tampaknya menggunakan strategi yang sama yang sering digunakan sejumlah negara saat menghadapi situasi serupa, seperti Iran, Mesir, dan beberapa negara lain.