- Masyarakat kembali dikejutkan dengan masuknya mutasi Corona varian E484K. Varian Corona diberi nama Eek ini ditemukan di Indonesia melalui pemeriksaan Whole Genome Sequence (WGS) pada Februari 2021.
Kementerian Kesehatan mengatakan mutasi ini tak berbahaya, namun punya potensi penularan yang lebih masif, seperti halnya varian Corona baru lainnya.
"Ini hanya satu mutasi tidak berbahaya tapi perlu diwaspadai," kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2PML) Kemenkes Siti Nadia Tarmizi melalui pesan singkat kepada CNNIndonesia.com, Selasa (6/4/2021).
Dengan ditemukannya varian 'Eek', berarti sudah ada empat varian Corona di Indonesia yang berhasil diidentifikasi di antaranya D614G, B117, N439K, dan E484K.
Kasus varian E484K ini dilaporkan terdeteksi di Jakarta. Kementerian Kesehatan telah melakukan pelacakan kontak erat pada kasus tersebut. Hingga kini belum diketahui kondisi pasien yang terinfeksi varian ini.
https://nonton08.com/movies/london-town/
Kemenkes Pastikan Kaki Bengkak yang Dialami ASN Kotamobagu Tak Terkait Vaksin
Beberapa waktu lalu, Kotamobagu melaksanakan program vaksinasi COVID-19 untuk Aparatur Sipil Negara (ASN) Pemerintah Kotamobagu di Aula Kantor Walikota Kotamobagu.
Peserta yang akan divaksin sebelumnya dilakukan skrining secara ketat sesuai dengan petunjuk teknis yang berlaku.
Disebutkan, ada ASN yang mengalami pembengkakkan kaki setelah melakukan vaksinasi COVID-19. Padahal saat skrining, ASN tersebut dikatakan dalam keadaan sehat dan diperbolehkan melakukan vaksinasi.
Kepala Dinas Kesehatan Kotamobagu, Sulawesi Utara, dr Tanty Korompot, mengklarifikasi kabar soal adanya ASN yang mengalami pembengkakan kaki usai divaksinasi COVID-19.
dr Tanty menyebutkan, ASN ini mengalami demam, mual, pusing, muntah, tetapi tidak memberikan informasi kepada narasumber yang terdapat di kartu vaksinasi.
"Sebenarnya pasien ini mengalami keluhan kaki bengkak, kemudian pasien mengaku sejak mengalami gejala belum pernah menghubungi narahubung atau contact person di kartu vaksinasi. Yang bersangkutan mengaku berobat di Puskesmas dan diberikan obat anti nyeri namun belum membaik. Oleh Dinas Kesehatan yang bersangkutan kemudian diarahkan ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut," kata dr Tanty saat Konferensi Pers secara virtual, Minggu (4/4/2021).
Dengan adanya kejadian tersebut, ASN dijemput oleh tim Dinas Kesehatan untuk mendapatkan perawatan di RSUD Kotamobagu kemudian yang bersangkutan diperiksa lebih lanjut lagi.
Dari hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya infeksi bakteri. Sehingga dapat disimpul pembengkakan kaki salah satu ASN itu bukan diakibatkan oleh vaksin COVID-19.
"Walaupun keluhan yang bersangkutan tidak berhubungan dengan pemberian vaksin COVID-19, Dinas Kesehatan Kotamobagu tetap melakukan pendampingan dalam proses perawatan," pungkas dr Tanty.
Varian Eek Ditemukan di Jakarta, Kemenkes Ungkap Kondisi Pasien Terkini
Mutasi E484K atau varian Eek sudah masuk Indonesia sejak Februari 2021. Temuan ini didapat dalam pemeriksaan sampel dari salah satu rumah sakit di Jakarta Barat.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2PML) Kementerian Kesehatan RI dr Siti Nadia Tarmizi menyebut pasien dengan varian Eek di Indonesia sudah sembuh. Begitu pula dengan hasil tracing, tak ada satupun yang dinyatakan positif Corona dari kontak erat dengan pasien varian Eek.
"Iya satu spesimen dari DKI Jakarta di bulan Februari dan saat ini sudah sembuh dia. Kita sudah men-tracing kasuk kontaknya dan tidak yg positif sampai saat ini," jelas dr Nadia kepada detikcom, Selasa (6/4/2021).
Sebelumnya, Ketua Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Prof Amin Subandrio menyebut sampel pasien varian Eek diambil per 2 Februari 2021.
"Sampelnya dirujuk ke Eijkman dari salah satu rumah sakit di Jakarta Barat," demikian konfirmasi Prof Amin saat dihubungi detikcom Senin (5/3/2021).
Usai melalui sejumlah proses dalam tahap whole genome sequencing, temuan varian Eek baru bisa dilaporkan Maret 2021. "Sampelnya diambil tanggal 2 Februari, tapi sequensnya baru selesai tanggal 18 Maret," beber Prof Amin.