Organisasi Freemason di Kota Malang dulunya pernah ada. Jejak keberadaannya bisa dilihat di sebuah hotel bergaya Belanda di Jalan Cerme, Kota Malang.
Bangunan bergaya arsitektur Niuwe Bowen itu dirancang oleh seorang arsitek Belanda di tahun 1933. Bangunan sempat berubah-ubah fungsinya sebelum akhirnya menjadi The Shalimar Boutique Hotel.
Dahulu bangunan tersebut pernah digunakan sebagai Stasiun RRI Malang sejak tahun 1964. Lalu pada tahun 1993, PT Cakra Nur Lestari melakukan tukar guling dengan status hak guna usaha seluas 3.800 meter persegi.
Tahun 1994, bangunan itu difungsikan sebagai Hotel Malang Inn. Kemudian setahun berikutnya, 1995, menjadi Graha Cakra. Lalu pada 2011 sukses menjadi hotel bintang lima dan pada 2015 di-rebranding menjadi The Shalimar Boutique Hotel.
Total kamar di hotel ini ada 44. Satu kamar tipe presiden suites bertarif Rp 10 juta per malam, sedangkan dua kamar tipe royal suites bertarif Rp 5,5 juta per malam.
Nah, untuk jejak Freemason dikenali dari foto lawas yang menempel pada dinding lobi hotel dan beberapa ruangan lain. Pada dinding depan bagian utama bangunan, di tengahnya terpasang logo atau simbol Freemason atau Mason Bebas. Dengan huruf G diapit jangkar dan mistar siku, yang menjadi lambang dari tarekat itu.
"Itu memang foto asli bangunan ini. Kita mendapatkannya dari kolektor. Sampai kini, bangunan utamanya tak berubah," ungkap Manager Affair The Shalimar Hotel Boutique Agoes Basoeki pada detikTravel, Kamis (7/2/2019).
Foto repro memang sengaja dipajang, untuk memperlihatkan penampakan bangunan sejak masa lalu. Bersama ahli sejarah, Agoes pun tengah serius menelusuri sejarah dari bangunan ini.
"Dulunya menjadi gedung societeit, tempat berkumpul pejabat-pejabat Belanda kala itu, mengisi waktu dengan berpesta, berdansa, menari dan menyanyi," beber Agoes.
Terlepas dari keberadaan komunitas Freemason kala itu, kata Agoes, bangunan memang dirancang khusus untuk iklim Indonesia dengan gaya arsitektur Niuwe Bowen.
"Bangunannya kokoh dan tak berubah dari aslinya, sirkulasi udaranya bagus hingga terasa adem dan membuat betah siapa saja yang singgah," ujar Agoes.
Tim Ahli Cagar Budaya Kota Malang pun mengiyakan soal bangunan hotel yang dulunya digunakan sebagai tempat perkumpulan Freemason.
"Jika melihat dari beberapa bukti, memang iya. Bangunan atau gedung ini dulunya menjadi tempat perkumpulan itu (Freemason). Bahkan, jika sampai mendirikan bangunan sendiri, artinya cukup kuat di masa itu," ungkap Tim Ahli Cagar Budaya Kota Malang Dwi Cahyono dalam perbincangan terpisah.
Dwi kemudian menunjuk altar yang kini menjadi restoran hotel. Tak berubah, sepertinya awal dulu bangunan didirikan. "Ini altarnya, ya begini seperti aslinya. Mungkin sebagai tempat pertemuan dari anggota perkumpulan," terangnya.
Freemason sendiri mulai tersebar di seluruh Hindia Belanda sejak tahun 1762 sampai 1962. Loji atau rumah pertemuan didirikan sebagai tempat berkumpul anggota persaudaraan.
Loji pertama di Asia didirikan di Batavia oleh Jacobus Cornelis Mattheus Radermacher di tahun 1741-1783. Setidaknya ada 27 loji utama mengiringi perkembangan Freemason di tanah air, menyebar dari mulai Sumatera, Sulawesi, Jawa, dan Malang salah satunya, dikenal dengan nama Loge Nummer 89.
Dalam buku berjudul Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1964 karya Dr Th Stevens, dengan terjemahan terbitan Pustaka Sinar Harapan 2004 menjelaskan keanggotaan awalnya adalah orang Belanda, sebelum kemudian tokoh ningrat pribumi turut bergabung.
Tarekat Mason Bebas pada akhirnya dibubarkan oleh Presiden Soekarno di tahun 1964. Aktivitasnya di Indonesia pun berhenti.