Kamis, 05 Maret 2020

Mereka Menamakan Diri: Klub Penjelajah Dunia yang Rahasia

Klub penjelajah ini sudah menjadi inspirator para tokoh dunia. Siapakah mereka dan bagaimana pergerakannya?

Melansir BBC Travel, Sabtu (26/1/2019), inilah The Explorers Club. Mereka telah menginspirasi para petualang hingga astronot selama lebih dari seabad juga sekarang berkembang untuk menginspirasi setiap orang.

Lokasi berkumpul The Explorers Club ada di sebuah rumah beralamat East 70th Street, Upper East Side, New York, Amerika Serikat. Sebuah rumah besar berlantai enam yang berusia 109 tahun ini perpaduan arsitektur Jacobean Renaissance dan Tudor.

The Explorers Club memang kurang dikenal. Namun daftar anggotanya adalah orang-orang terhormat termasuk Edmund Hillary dan Tenzing Norgay yang pertama kali menjuluki Gunung Everest, penerbang Charles Lindbergh yang melakukan penerbangan pesawat transatlantik solo pertama pada tahun 1927, penjelajah Norwegia Thor Heyerdahl yang mengarungi perairan dengan rakit buatan tangannya, Kon-Tiki dari Peru ke Polinesia, pilot terkenal Amelia Earhart yang menghilang di Pasifik.

Tak sampai di situ, ada pula astronot Apollo termasuk Buzz Aldrin dan Neil Armstrong yang pertama menginjakkan kaki di bulan, ahli paleoantropologi Inggris Mary Leakey yang menemukan 15 spesies hewan baru, CEO Amazon Jeff Bezos, Sutradara film Titanic dan penjelajah laut dalam James Cameron dan ahli primata Dame Jane Goodall yang dianggap sebagai pakar simpanse terkemuka di dunia. Tentunya daftar ini amat membingungkan juga mengejutkan.

Presiden klub Richard Wiese ingat pertama kali bergabung ke klub pada pertengahan 1980-an. Ia duduk di sebuah meja yang pernah dimiliki oleh mantan anggota dan presiden AS Theodore Roosevelt.

The Explorers Club memiliki 3.500 anggota, tersebar di 32 titik global. Kini, keanggotaannya sebagian besar diisi oleh ahli kelautan, lepidopterologis, primatologis dan konservasionis.

Satu contoh penjelajahannya, musim panas yang lalu, sekelompok paleontolognya berada di Gurun Gobi Mongolia mencari fosil dinosaurus menggunakan pemindai drone. Dan menemukan lusinan fosil.

Markas The Explorers Club, Townhouse memiliki arsitektur yang menarik. Ada balok kayu yang diambil dari HMS Daedalus (kapal perang fregat 1826).

Langit-langitnya dibeli dari biara Italia abad ke-15 ditambah jendela-jendela kaca patri asli bertatahkan mawar Tudor dari Kastil Windsor di Inggris. Pengunjung yang datang dapat melihat kepala cheetah dan singa dari ekspedisi Smithsonian, kulit kepala yeti dari Tibet, tulisan edisi pertama deskripsi Napoleon tentang Mesir, gading mamut Alaska, kepala rusa dan boneka penguin, pelt dari harimau betina Nepal hingga koleksi gading dari gajah dengan ujung empat, anomali genetik langka dari Kongo.

Anggotanya pun ada pula para penjelajah 'gila'. Penjelajah Denmark bernama Peter Freuchen, mengenakan mantel dari beruang kutub yang dibunuhnya dan pernah mengamputasi kaki mereka sendiri.

Petualangan para anggota diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi yang menggetahuinya. Kamu yang berjiwa petualang pasti tertarik bukan dan per kunjungan dikenakan biaya USD 25 atau Rp 354 ribu?

Menapaki Jejak Maha Dahsyat Letusan Tambora (6)

Diiringi gumpalan debu yang menyelinap di sela-sela kacamata dan memenuhi kerongkongan, saya terbatuk-batuk. Debu, debu dan debu. Ia berterbangan kesana kemari dibawa angin Gunung. Jaket biru yang saya gunakan mulai tak jelas warnanya. Sementara itu secercah cahaya mulai Nampak. Terpancar dari balik dinding terjal yang sedang ditapaki.

Saya semakin mempercepat langkah, bagai dikejar sesuatu. Target hari ini adalah sampai di kaldera sebelum matahari muncul. Namun sepertinya sudah terlambat. Langit sudah keburu terang, semburat warnaƂ kuning di ufuk timur yang begitu cantik menandakan surya, sang penanda pagi telah muncul. Sementara scenery sekeliling muai terlihat, begitu memanjakan mata!.

Saya mengaku kalah, kalah dengan waktu. Benar, waktu memang tidak dapat dilawan, maka bersahabatlah dengannya, jangan menyia-nyiakan waktu. Inilah konsekuensi karena kami bangun terlambat. Saya terduduk menyeka keringat sambil mengatur ritme, kemudian beranjak melanjutkan sisa-sia pendakian yang hampir selesai.

Kaldera dan Puncak

Saya berdiri terdiam, menghirup udara dalam-dalam.

Saya berteriak menghempaskannya dengan keras ke muka akwah, tentu saja tak berarti apa-apa di depan kaldera yang terbentang sangat luas saat itu. Entah berapa hektar luasnya. Yang pasti ia menjadi bukti mahadahsyatnya letusan tahun 1815.

Dulu tinggi gunung ini diperkirakan mencapai 4000 meter diatas permukaan laut, kemudian separuh tubuhnya hancur, menyisakan kaldera yang menganga. Sejauh mata memandang terlihat membentuk garis horizon di sebrang sana. Seolah-olah memberi batas antara langit dan badan Gunung. sementara itu, Langit sudah begitu terang, namun sebagian tubuh matahari masih terhalang batas dari mulut kaldera di sisi timur.

Tanaman edelweis yang begitu cantik nampak tumbuh di dinding-dinding kaldera. Mereka menggantung di tempat-tempat yang tak terjangkau, sesekali saya temukan pula yang tumbuh di pinggiran. Tertarik, saya menodongkan kamera ke tumbuhan cantik ini dan mengambil beberapa gambar. Otomatis saya harus melongo dan memandang ke dalam kawah.

Sontak tubuh ini begidik, ngeri sekaligus takjub. Apa jadinya kalau sampai terjatuh ke dasar kaldera yang dalamnya hingga ratusan meter?! Yang pasti tidak akan selamat, belum lagi tubuh yang mungkin sudah tidak karuan saat ditemukan karena terbentur dinding tajam kaldera, atau terkena gas beracun dibawah sana.

perlahan saya berjalan menyisir kaldera. Mengikuti jalur yang memabawa saya menuju puncak Gunung ini. Masih sekitar 40 menit dari tempat saya berdiri. Terlihat bendera merah putih berkibar-kibar di atas gundukan bukit di sisi sebelah kanan. Ya, itulah puncak tambora.

Beberapa langkah lagi! mungkin sekitar 15 langkah saya akan berada pada titik tertinggi di pulau sumbawa.

Perjuangan ini terbayar sudah. Saya berdiri di samping bendera merah putih yang berkibar pada ketinggian 2.852 meter diatas permukaan laut. Diantara hembusan angin yang tak terhalang apapun. Saya mengusap-usap mata, ini bukan lagi video youtube tentang ekspedisi kaldera tambora yang beberapa hari lalu masih saya tonton di sela-sela pekerjaan kantor.

Kaldera itu terlihat begitu megah dari sini. Terpampang jelas betapa lebarnya ia. Dasar kawah yang tadi masih Dijejali kabut kini tersibak sudah. Sementara dibelakang sana hamparan laut biru tak terbatas mata memandang. Saya memandang kearah kaldera yang lebih dari dua abad tertidur pulas dengan tatapan tajam, berharap ia tak bangun dan meluluh lantakan peradaban yang tumbuh di kakinya.

Saya merasa sangat bersyukur, berterimakasih kepada Allah SWT. Melalui ciptaannya ini saya belajar banyak arti kesabaran dalam perjalanan kali ini. Kemudian saya memalingkan wajah ke arah barat sambil menatap tujuan berikutanya nun jauh disana, yaitu rumah!