Diiringi gumpalan debu yang menyelinap di sela-sela kacamata dan memenuhi kerongkongan, saya terbatuk-batuk. Debu, debu dan debu. Ia berterbangan kesana kemari dibawa angin Gunung. Jaket biru yang saya gunakan mulai tak jelas warnanya. Sementara itu secercah cahaya mulai Nampak. Terpancar dari balik dinding terjal yang sedang ditapaki.
Saya semakin mempercepat langkah, bagai dikejar sesuatu. Target hari ini adalah sampai di kaldera sebelum matahari muncul. Namun sepertinya sudah terlambat. Langit sudah keburu terang, semburat warnaĆ kuning di ufuk timur yang begitu cantik menandakan surya, sang penanda pagi telah muncul. Sementara scenery sekeliling muai terlihat, begitu memanjakan mata!.
Saya mengaku kalah, kalah dengan waktu. Benar, waktu memang tidak dapat dilawan, maka bersahabatlah dengannya, jangan menyia-nyiakan waktu. Inilah konsekuensi karena kami bangun terlambat. Saya terduduk menyeka keringat sambil mengatur ritme, kemudian beranjak melanjutkan sisa-sia pendakian yang hampir selesai.
Kaldera dan Puncak
Saya berdiri terdiam, menghirup udara dalam-dalam.
Saya berteriak menghempaskannya dengan keras ke muka akwah, tentu saja tak berarti apa-apa di depan kaldera yang terbentang sangat luas saat itu. Entah berapa hektar luasnya. Yang pasti ia menjadi bukti mahadahsyatnya letusan tahun 1815.
Dulu tinggi gunung ini diperkirakan mencapai 4000 meter diatas permukaan laut, kemudian separuh tubuhnya hancur, menyisakan kaldera yang menganga. Sejauh mata memandang terlihat membentuk garis horizon di sebrang sana. Seolah-olah memberi batas antara langit dan badan Gunung. sementara itu, Langit sudah begitu terang, namun sebagian tubuh matahari masih terhalang batas dari mulut kaldera di sisi timur.
Tanaman edelweis yang begitu cantik nampak tumbuh di dinding-dinding kaldera. Mereka menggantung di tempat-tempat yang tak terjangkau, sesekali saya temukan pula yang tumbuh di pinggiran. Tertarik, saya menodongkan kamera ke tumbuhan cantik ini dan mengambil beberapa gambar. Otomatis saya harus melongo dan memandang ke dalam kawah.
Sontak tubuh ini begidik, ngeri sekaligus takjub. Apa jadinya kalau sampai terjatuh ke dasar kaldera yang dalamnya hingga ratusan meter?! Yang pasti tidak akan selamat, belum lagi tubuh yang mungkin sudah tidak karuan saat ditemukan karena terbentur dinding tajam kaldera, atau terkena gas beracun dibawah sana.
perlahan saya berjalan menyisir kaldera. Mengikuti jalur yang memabawa saya menuju puncak Gunung ini. Masih sekitar 40 menit dari tempat saya berdiri. Terlihat bendera merah putih berkibar-kibar di atas gundukan bukit di sisi sebelah kanan. Ya, itulah puncak tambora.
Beberapa langkah lagi! mungkin sekitar 15 langkah saya akan berada pada titik tertinggi di pulau sumbawa.
Perjuangan ini terbayar sudah. Saya berdiri di samping bendera merah putih yang berkibar pada ketinggian 2.852 meter diatas permukaan laut. Diantara hembusan angin yang tak terhalang apapun. Saya mengusap-usap mata, ini bukan lagi video youtube tentang ekspedisi kaldera tambora yang beberapa hari lalu masih saya tonton di sela-sela pekerjaan kantor.
Kaldera itu terlihat begitu megah dari sini. Terpampang jelas betapa lebarnya ia. Dasar kawah yang tadi masih Dijejali kabut kini tersibak sudah. Sementara dibelakang sana hamparan laut biru tak terbatas mata memandang. Saya memandang kearah kaldera yang lebih dari dua abad tertidur pulas dengan tatapan tajam, berharap ia tak bangun dan meluluh lantakan peradaban yang tumbuh di kakinya.
Saya merasa sangat bersyukur, berterimakasih kepada Allah SWT. Melalui ciptaannya ini saya belajar banyak arti kesabaran dalam perjalanan kali ini. Kemudian saya memalingkan wajah ke arah barat sambil menatap tujuan berikutanya nun jauh disana, yaitu rumah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar