Kamis, 05 Maret 2020

Menapaki Jejak Maha Dahsyat Letusan Tambora (5)

Butiran debu berterbangan masuk ke sela-sela buff yang sejak tadi sudah terpasang menutupi wajah. Jalur mulai berubah, Pohon-pohon tinggi yang tadi mendominasi dari titik awal pendakian kini berkurang. Jenisnya pun berbeda, lebih banyak pohon pinus deselingi tanaman-tanaman perdu lainnya. Kini, Saya mencoba berkawan dengan alang-alang dan hempasan debu dari tiap jejakkan kaki kami di jalur yang menanjak semakin terjal.

Pos 5

Semburat cahaya kuning keemasan mengintip dari sela-sela dedaunan. Kini Saya dapat melangkah lebih leluasa, beberapa menit menuju Pos 5, jalur semakin bersahabat. Ia menjadi lebih landai, pijakan terasa lebih keras. Dari sebelah kanan Terpampang nyata wajah raksasa itu. Raksasa yang pernah menyebabkan kepanikan di berbagai belahan dunia. Guratan-guratan bukitnya begitu jelas dan tegas, disinari cahaya keemasan yang semakin lama semakin redup berganti warna menjad jingga kemerahan. Jadi ingat cerita Frankenstein yang konon lahir karena langit gelap akibat letusannya.

Cahaya keemasan itu berubah menjadi jingga kemerahan. Perlahan kemudian sirna berganti dengan kegelapan dan suara-suara malam yang menemani kami dalam balutan dinginnya udara di pos 5. Kerlap-kerlip taburan bintangĂ‚  begitu jelas terlihat, orang bilang itu milkyway. Obrolan dari rombongan bapak-bapak sebelah terdengar sayup-sayup dari sini.

Sambil menikmati minasarua yang baru dihangatkan, kami mengisi malam dengan sekedar ngobrol atau bermain ludo. Udara dingin yang semakin menusuk memaksa saya agar segera menarik sleeping bag dan bersiap menutup hari. Hingga nyanyian alam yang begitu syahdu sukses meninabobokkan Saya di pundak tambora yang telah lebih dulu terlelap sejak dua abad yang lalu.

Jumat, 11 Mei 2018

Break! Dalam kegelapan kami meraba-raba mencari bidang datar untuk sekedar bertumpu, atau duduk menghela nafas sejenak. Diatas sana terpampang indah persembahan dari langit, taburan bintang yang jauh lebih indah dari kerlap-kerlip lampu kota dibawah sana. Sementara itu senter para pendaki yang sudah dulu naik ke atas terlihat bagaikan titik-titik kecil membentuk jalur.

Jam tangan masih menunjukkan pukul 04:00 dini hari, Namun keringat sudah mengalir deras membasahi leher lewat sela-sela telinga. Menutupi hawa dingin yang tadi begitu menusuk tulang. Jaket tebal yang saya pakai, mulai terasa pengap. Namun saya tak lantas membukanya, sekali lagi angin gunung telah bersiap di luar sana, menunggu untuk masuk menggerayangi tiap jengkal kulit dan membuat begidik sendi-sendi saya.

Entah sudah berapa kali kalimat yang sama kami dengar. Mungkin Ia hanya basa-basi melihat kami yang sudah mulai putus asa. Wajah-wajah kami begitu lelah dihajar jalur berpasir ini. Beberapa kali saya merosot karena pijakan yang begitu rapuh.

Batas vegetasi sudah dilewati, tidak ada lagi pepohonan, hanya beberapa tanaman setinggi lutut yang bisa dihitung, sisanya lautan pasir dan bebatuan kecil. Jalan terjal menanjak 45 derajat. Tidak! Perjalanan dini hari ini tidak semulus perjalanan menuju Pos 2, pijakannya tidak sekeras saat menuju pos 5. Tidak ada Jelatang. Air pun masih melimpah dalam botol yang saya masukkan di tas kecil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar