Kamis, 05 Maret 2020

Menapaki Jejak Maha Dahsyat Letusan Tambora (3)

Alunan tembang 'jaran goyang' menemani pendakian yang sudah berjalan sekitar 2 jam. Jalur tak begitu terjal, namun terasa begitu jauh. Sesekali saya dapat berlari di jalur pendakian ini. Tumbuhan didominasi pohon-pohon tinggi yang agak terbuka. Tim ini masih berjalan dalam satu rombongan utuh dengan formasi Inggar, Zahra, Saya, Hanin dan Taufik. Sedangkan dua porter yang kami sewa ada di depan dan di belakang. Obrolan santai tentang kantor, bos, musik, dan segala hal tumpah bercampur tak karuan hingga kami sampai di pos 2.

Pos 2

'Gunung bukan tempat sampah' kalimat itu tiba-tiba terlintas di fikiran saya. Membayangkan Tambora begitu berbeda dari bayangan saya. Ia begitu gagah dan asri. Menyimpan sejuta misteri dalam balutan kabutnya. Ia masih begitu bersih, meninggalkan kesan dalam beberapa jam saya mengenalnya.

Ayo Makan! Makan bareng kita sini Teriakan rombongan bapak-bapak pengusaha mengagetkanku. Rupanya mereka sudah sampai duluan dan sempat masak di pos ini. Bukan kaleng-kaleng! Mereka masak rawon di Gunung! Saya malu kepada diri sendiri yang umurnya jauh lebih muda, melirik sayu pada logistik serba instan yang kami bawa dari bawah.

Kami terkecoh oleh sungai kecil yang mengalir deras di Pos 2. Kami lalai, boros dengan minum sesuka hati. Kini botol-botol itu melompong kosong terselip di kanan-kiri tas kami, tinggal beberapa teguk. Perjalanan menuju Pos 3 begitu jauh, terasa jauh sekali.

Berbagai macam tembang yang diputar dalam speaker mini mengalun, mencoba bangkitkan kembali saya yang mulai dirundung keputusasaan. Melawan Langkah yang semakin gontai, jalan beberapa langkah kemudian beristirahat begitu berulang-ulang. Vegetasi begitu rapat, banyak pohon-pohon besar tumbang. Untungnya kondisi ini berpihak kepada kami dengan melindungi terjangan matahari langsung yang dapat semakin menghambat pendakian.

Tidak ada yang lebih buruk daripada terjebak dalm keputusasaan. Bahkan, sekelas Bill Gates pun pernah mengalaminya. Bayangkan jika Ia tidak bangkit dari kegagalan. Mungkin saat ini kita masih membawa sempoa kemana-mana, atau menenteng mesin tik sambil minum kopi di caffe.

Salah seorang porter kami menyingkir agak jauh di sela-sela istirahat, sebut saja Bang Mamat. Sejurus kemudian ia membakar lintingan yang sudah ia siapkan dari rumahnya. aromanya menyeruak di sela-sela obrolan kami. Sambil rebahan di batang kayu tumbang yang cukup besar, Ia begitu menghayati tiap hisapannya.

Pos 3

Setelah terseok-seok, kami sampai di Pos 3. Terdapat sebuah pondokan kayu yang berdiri disini, lokasinya cukup lapang untuk menampung sekitar 15 tenda. Namun target kami mengakhiri pendakian hari ini di Pos 5 sebelum gelap. Sementara itu Jam sudah menunjukkan pukul 14:30. Sambil terengah saya langsung bersandar di salah satu sudut pohon, meregangkan otot-otot kaki yang sedari tadi dipaksa untuk terus berjalan, sambil menikmati semilir angin yang mulai terasa dingin.

Sementara itu Bang amat mengumpulkan botol-botol kami untuk kemudian turun menuju sumber mata air. Menurutnya sumber mata air terakhir ada di pos 3, karena di Pos 5 hanya terdapat genangan air yang tidak layak minum.

Rabu, 04 Maret 2020

Temple of Confusius, di Mana Semua Orang Berderajat Sama

Confusius menjadi cendikiawan China yang ajarannya masih digunakan sampai sekarang. Tempat terbaik untuk mengetahui sejarahnya ada di Temple of Confusius.

Perjalanan ke Kota Qufu memang dikhususkan untuk mengenang Confusius. detikTravel bersama Dwidaya Tour tak hanya berkunjung ke balai mewah Confusius tapi juga kelentengnya.

Masih berada di Kota Qufu, Provinsi Shandong, China, Temple of Confusius menjadi destinasi terbaik di sini. Pemerintah memberikan grade AAAAA untuk kelenteng yang dibangun lebih dari 2000 tahun lalu ini.

Temple of Confusius memiliki luas 140.000 meter persegi. Kelenteng ini dicatatkan menjadi warisan dunia oleh UNESCO. Menjadi salah satu dari 3 bangunan kuno terpenting China, Temple of Confusius menyimpan banyak cerita menarik.

Confusius lahir pada 28 September 551 sebelum masehi. Semasa hidupnya, Confusius menjadi pemikir dan pengajar. Ia begitu disegani oleh raja-raja karena pemikiran dan jasanya.

Untuk itu pada masa itu, banyak raja-raja yang datang ke kelenteng ini. Bahkan setelah Confusius tiada.

"Ada satu syarat yang mesti dipatuhi oleh semua orang, termasuk raja. Siapa pun yang masuk ke kelenteng ini harus berjalan kaki," ujar Dennis, pemandu dari China International Travel Servis.

Padahal, raja-raja selalu berada di dalam tandu. Tapi di kelenteng ini, semua orang memiliki derajat yang sama. Semua orang, termasuk raja harus berjalan kaki.

Kelenteng ini sendiri dibangun dengan keapikan yang luas biasa. Wisatawan akan dibuat kagum dengan pepohonan yang ada di sekitar kelenteng.

Belum lagi sungai yang mengalir di dalam area kelenteng. Kicauan burung tak hentinya bersahutan menemani wisatawan.

"Ada cerita menarik tentang burung-burung ini. Mereka hanya akan terdengar di dalam area kelenteng," kata Dennis, sembari berjalan.

Dennis bercerita bahwa burung-burung di area kelenteng ini sangat unik. Wisatawan tidak akan mendengar kicauan burung di luar kelenteng. Kicauan burung hanya terdengar di dalam Temple of Confusius.

"Ada beberapa orang yang mencoba untuk menangkap dan memelihara burung-burung di area ini. Tapi menurut cerita, burung-burung ini akan kembali ke kelenteng," jelas Dennis.

Melewati banyak gerbang, kelenteng ini masih terasa seperti jaman kerajaan. Bedanya, ada beberapa penjajak suvenir yang mangkal. Namun mereka tidak mengganggu wisatawan untuk membeli dagangannya.

Selain pepohonan, area kelenteng juga dihiasi oleh gazebo merah yang menjadi tempat penghormatan. Di dalam gazebo ini terdapat batu bi xi (patung kura-kura naga) peninggalan raja-raja yang datang berkunjung.

Di tengah area ini terdapat sebuah gazebo berukuran cukup besar yang di kelilingi oleh bangku di taman. Rupanya tempat ini menjadi tempat Confusius mengajar muridnya jaman dulu.

"Confusius akan mengajar dari dalam bangunan dan ratusan murid-muridnya akan duduk di halaman," sambung Dennis.

Setelah melewati tempat pengajaran Confusius, tibalah wisatawan di kelenteng utama. Kelenteng ini memiliki 9 hewan sebagai tanda keagungan di ujung gentingnya.

Wisatawan yang mau berdoa bisa meletakkan dupa di tempat yang disediakan. Ada pula papan permohonan berwarna merah yang diletakkan di sisi kelenteng.

Papan doa ini dijual seharga 90 Yuan atau sekitar Rp 187.998 per buah. Banyak wisatawan yang datang dan mendoakan permasalahannya di papan doa ini.

Di dalam kelenteng terlihat altar pemujaan Confusius. Wajah patung Confusius ditutup setengah untuk penghormatan. Sedangkan di sisi kanan dan kiri Confusius berdiri patung-patung seniman ternama China.

Kebanyakan wisatawan yang datang ke kelenteng ini dalam kunjungan wisata rohani. Mereka datang dari berbagai wilayah China untuk menghormati Confusius.