Alunan tembang 'jaran goyang' menemani pendakian yang sudah berjalan sekitar 2 jam. Jalur tak begitu terjal, namun terasa begitu jauh. Sesekali saya dapat berlari di jalur pendakian ini. Tumbuhan didominasi pohon-pohon tinggi yang agak terbuka. Tim ini masih berjalan dalam satu rombongan utuh dengan formasi Inggar, Zahra, Saya, Hanin dan Taufik. Sedangkan dua porter yang kami sewa ada di depan dan di belakang. Obrolan santai tentang kantor, bos, musik, dan segala hal tumpah bercampur tak karuan hingga kami sampai di pos 2.
Pos 2
'Gunung bukan tempat sampah' kalimat itu tiba-tiba terlintas di fikiran saya. Membayangkan Tambora begitu berbeda dari bayangan saya. Ia begitu gagah dan asri. Menyimpan sejuta misteri dalam balutan kabutnya. Ia masih begitu bersih, meninggalkan kesan dalam beberapa jam saya mengenalnya.
Ayo Makan! Makan bareng kita sini Teriakan rombongan bapak-bapak pengusaha mengagetkanku. Rupanya mereka sudah sampai duluan dan sempat masak di pos ini. Bukan kaleng-kaleng! Mereka masak rawon di Gunung! Saya malu kepada diri sendiri yang umurnya jauh lebih muda, melirik sayu pada logistik serba instan yang kami bawa dari bawah.
Kami terkecoh oleh sungai kecil yang mengalir deras di Pos 2. Kami lalai, boros dengan minum sesuka hati. Kini botol-botol itu melompong kosong terselip di kanan-kiri tas kami, tinggal beberapa teguk. Perjalanan menuju Pos 3 begitu jauh, terasa jauh sekali.
Berbagai macam tembang yang diputar dalam speaker mini mengalun, mencoba bangkitkan kembali saya yang mulai dirundung keputusasaan. Melawan Langkah yang semakin gontai, jalan beberapa langkah kemudian beristirahat begitu berulang-ulang. Vegetasi begitu rapat, banyak pohon-pohon besar tumbang. Untungnya kondisi ini berpihak kepada kami dengan melindungi terjangan matahari langsung yang dapat semakin menghambat pendakian.
Tidak ada yang lebih buruk daripada terjebak dalm keputusasaan. Bahkan, sekelas Bill Gates pun pernah mengalaminya. Bayangkan jika Ia tidak bangkit dari kegagalan. Mungkin saat ini kita masih membawa sempoa kemana-mana, atau menenteng mesin tik sambil minum kopi di caffe.
Salah seorang porter kami menyingkir agak jauh di sela-sela istirahat, sebut saja Bang Mamat. Sejurus kemudian ia membakar lintingan yang sudah ia siapkan dari rumahnya. aromanya menyeruak di sela-sela obrolan kami. Sambil rebahan di batang kayu tumbang yang cukup besar, Ia begitu menghayati tiap hisapannya.
Pos 3
Setelah terseok-seok, kami sampai di Pos 3. Terdapat sebuah pondokan kayu yang berdiri disini, lokasinya cukup lapang untuk menampung sekitar 15 tenda. Namun target kami mengakhiri pendakian hari ini di Pos 5 sebelum gelap. Sementara itu Jam sudah menunjukkan pukul 14:30. Sambil terengah saya langsung bersandar di salah satu sudut pohon, meregangkan otot-otot kaki yang sedari tadi dipaksa untuk terus berjalan, sambil menikmati semilir angin yang mulai terasa dingin.
Sementara itu Bang amat mengumpulkan botol-botol kami untuk kemudian turun menuju sumber mata air. Menurutnya sumber mata air terakhir ada di pos 3, karena di Pos 5 hanya terdapat genangan air yang tidak layak minum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar