Selasa, 10 Maret 2020

Dari Keprihatinan, Lahir Gerakan Cinta Toleransi Beragama dalam Bentuk Wisata

Ketegangan politik yang membawa isu agama menimbulkan keprihatinan banyak orang. Wisata bhinneka pun lahir untuk membuka lagi pintu cinta sesama rakyat Indonesia.

Wisata Kreatif Jakarta ingin menghilangkan kesan sekat antar umat beragama dengan gerakan tur Wisata Bhinneka, Kamis (17/1/2019). Pesertanya kali ini adalah para siswa dan mahasiswa dari Jakarta dan sekitarnya.

"Tur kali ini ditujukan ke anak-anak. Karena bahkan di sekolah masih kurang diajarkan toleransi dan penekanan antar agama," kata penggagas Wisata Kreatif Jakarta, Ira Lathief seusai acara.

Dari pukul 10.00-15.00 WIB, peserta berkumpul di titik kumpul yakni Gereja Immanuel Gambir untuk sesi tanya jawab ringan tentang tempat ibadah tersebut dan agama masing. Hal sama dilakukan, yakni pengenalan tempat ibadah lain seperti mengunjungi Gereja Katedral, Masjid Istiqlal dan Kelenteng Sin Tek Bio.

Biasanya, Wisata Kreatif Jakarta mengunjungi 5-7 spot destinasi tergantung tipe turnya. Semua turnya didominasi berjalan kaki.

"Kami ini penyedia tur tapi kebanyakan jalan kaki. Awalnya wisata kuliner per kawasan dari 2017 dan baru kali dibuat untuk siswa. Tarifnya Rp 70 ribu per orang," imbuh dia.

Diawaki 15 orang, Wisata Kreatif Jakarta sudah melakukan tur rutin, yakni di Sabtu-Minggu pagi dan sore hari. Lokasinya ada di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bandung.

"Kami ada pula tur spesial, seperti pas Maulid Nabi hingga Natal. Kadang, karena melihat keadaan seperti ini tetap kami selipkan destinasi religi atau tempat ibadah di dalamnya," jelas Ira.

Saat ini, Wisata Kreatif Jakarta sudah memiliki rute sebanyak 35 jalur. Terakhir ada di kawasan Tanjung Priok.

"Di sana itu ada yang unik-unik. Kita bisa ke Pasar Ular yang menjual barang impor dengan harga miring," kata dia.

Tak hanya memupuk rasa toleransi, tur ini juga mengedukasi satu sama lain. Peserta bebas bertanya ke tur guide yang ada.

"Juga kita sebar kuesioner setelah acara karena ingin tahu output mereka setelah tur, seperti kesan setelah mengikuti tur. Juga kali ini ada pertanyaan tempat ibadah mana lagi yang mau dikunjungi?" pungkas dia.

Kawasan Glodok & Petak 9 Jadi Merah Jelang Imlek

 Imlek di awal Februari mendatang, namun kemeriahannya mulai terasa di kawasan Glodok dan Petak 9. Hiasan hingga pernak-pernik berwarna merah sudah bermunculan.

Tahun ini perayaan Hari Raya Imlek jatuh pada tanggal 5 Februari 2019 mendatang. Namun, kawasan Glodok yang didominasi oleh etnis Tionghoa sudah mulai bersiap untuk merayakan moment sekali dalam setahun tersebut. Hari Kamis ini, (17/1/2019) detikTravel pun datang ke sana untuk melihat kemeriahannya.

Dimulai dari kawasan Petak 9, Vihara Dharma Bakti di Jalan Kemanggisan III sudah mulai menghias diri dengan lampion berwarna merah. Di siang hari ini, aktivitas sejumlah umat yang bersembahyang juga tampak. Sambil memegang hio, masing-masing memanjatkan doa dan menancapkannya di altar silih berganti.

Di pekarangan vihara, sejumlah rakyat kecil juga tampak duduk di lantai sambil mengajak serta anaknya. Tak sedikit dari mereka yang menjemput rezeki dari para umat yang bersembahyang di vihara. Di mana puncaknya akan bertempat jelang dan saat momen imlek.

Berjalan sedikit melewati pasar menuju Kali Mati, tak sedikit pedagang yang menjajakan aneka printilan terkait imlek seperti lampion, kertas angpao hingga kaos dan pakaian bertema babi. Seperti diketahui, tahun ini merupakan giliran shio babi. Oleh sebab itu, hampir semua hiasan yang didominasi warna merah itu juga menyertakan ikon babi di dalamnya.

"Kaosnya, kaosnya. Rp 50 ribuan," ujar salah satu penjaja pakaian.

Desa Paling Miskin yang Terlupakan di Haiti

Lebih dari satu dekade Desa Boucan Ferdinand terisolasi dari negaranya. Tidak ada listrik, air bersih dan semuanya serba susah.

Boucan Ferdinand sebuah desa yang berada di Hispaniola di Haiti. Di sini tidak ada listrik, layanan kesehatan, jalan beraspal dan mereka juga kehilangan satu-satunya akses menuju kota terdekat, yaitu Bios Negresse karena bencana banjir tahun 2014.

Dilansir detikTravel dari Reuters, Kamis (17/1/2019) jumlah penduduk di desa ini tidaklah banyak, karena telah banyak memilih pindak ke Republik Dominika karena lokasinya lebih dekat. Juga banyak yang pergi ke ibukota Haiti, Port-au-Prince untuk mengadu nasib, dan sebagian lagi memilih bertahan.

Perlu traveler ketahui, para penduduk yang menyeberang ke Republik Dominika berstatus ilegal. Mereka terpaksa melakukan ini karena Republik Dominika lebih makmur.

Kehidupan masyarakat yang memilih bertahan juga seadanya. Mereka bertani dan harus menampung air hujan untuk minum. Juga beragam penyakit mau tak mau harus berkawan dengan mereka.

Kehidupan para anak sekolah juga menyedihkan. Untuk menuju ke sekolah terdekat, mereka harus berjalan kaki selama 1,5 jam melewati jalan setapak sempit. Jika musim hujan datang, jalan ini pun tidak bisa dilewati karena becek dan licin.

Kendala biaya pendidikan juga menghantui para penduduk. Bahkan ada orang tua yang terpaksa menyuruh anak mereka berhenti sekolah dan meminta mereka membantu mengumpulkan kayu bakar.

Mereka juga membantu mengembala untuk membantu orang tua. Saat musim tanam, para pelajar juga terpaksa harus bolos sekolah supaya bisa membantu orang tua mereka di pertanian. Penghasilan pun tak lebih dari 2 dolar (Rp 28 ribu) per hari.

Kalau soal menu makanan, mereka tidak bisa berharap banyak. Kadang pasta, atau sekurangnya kopi hitam dan sepotong roti. Daging? Itu adalah menu mewah yang mereka impikan.

Beberapa penduduk yang telah yang mencoba hidup di Republik Dominika juga ada yang kembali ke desa ini. Mereka yang bertahan hidup di negara orang dengan menjual permen dan roti harus menyerah pada penyakit yang membuat mereka lumpuh. Tentu masalah biaya menghantui mereka sehingga memutuskan untuk kembali di desa.

Para penduduk desa juga harus berjuang untuk bisa menikmati layanan kesehatan. Adapun pusat kesehatan Haiti terdekat berada di seberang gunung. Untuk menuju ke sini mereka harus melintasi perbatasan dengan keledai menuju Kota Dominika Duverge.

Walikota pun menyadari dan tahu bagaimana kehidupan masyarakat di desa-desa yang dipimpinnya. Namun karena masalah biaya, pembangunan akses harus tertunda.

Apakah traveler sanggup menjalani kehidupan seperti di desa terpencil Haiti ini?

Dari Keprihatinan, Lahir Gerakan Cinta Toleransi Beragama dalam Bentuk Wisata

Ketegangan politik yang membawa isu agama menimbulkan keprihatinan banyak orang. Wisata bhinneka pun lahir untuk membuka lagi pintu cinta sesama rakyat Indonesia.

Wisata Kreatif Jakarta ingin menghilangkan kesan sekat antar umat beragama dengan gerakan tur Wisata Bhinneka, Kamis (17/1/2019). Pesertanya kali ini adalah para siswa dan mahasiswa dari Jakarta dan sekitarnya.

"Tur kali ini ditujukan ke anak-anak. Karena bahkan di sekolah masih kurang diajarkan toleransi dan penekanan antar agama," kata penggagas Wisata Kreatif Jakarta, Ira Lathief seusai acara.

Dari pukul 10.00-15.00 WIB, peserta berkumpul di titik kumpul yakni Gereja Immanuel Gambir untuk sesi tanya jawab ringan tentang tempat ibadah tersebut dan agama masing. Hal sama dilakukan, yakni pengenalan tempat ibadah lain seperti mengunjungi Gereja Katedral, Masjid Istiqlal dan Kelenteng Sin Tek Bio.

Biasanya, Wisata Kreatif Jakarta mengunjungi 5-7 spot destinasi tergantung tipe turnya. Semua turnya didominasi berjalan kaki.

"Kami ini penyedia tur tapi kebanyakan jalan kaki. Awalnya wisata kuliner per kawasan dari 2017 dan baru kali dibuat untuk siswa. Tarifnya Rp 70 ribu per orang," imbuh dia.

Diawaki 15 orang, Wisata Kreatif Jakarta sudah melakukan tur rutin, yakni di Sabtu-Minggu pagi dan sore hari. Lokasinya ada di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bandung.

"Kami ada pula tur spesial, seperti pas Maulid Nabi hingga Natal. Kadang, karena melihat keadaan seperti ini tetap kami selipkan destinasi religi atau tempat ibadah di dalamnya," jelas Ira.