Munculnya beragam varian baru Corona seperti mutasi E484K atau 'eek' dan Corona B117 memicu kekhawatiran vaksin tak lagi efektif. Pakar kembali mengingatkan vaksin Corona bukan satu-satunya jalan 'terbebas' dari virus.
Menurut Guru Besar Unair yang juga pakar biologi molekuler, Prof Chairul A Nidom, belum ada penelitian menyeluruh apakah vaksin Corona yang dikembangkan dan dipakai saat ini bisa melawan seluruh jenis Corona yang terus bermutasi.
"Belum ada penelitian secara menyeluruh kan karena vaksinnya ada 7 macam kan begitu, apakah terjadi namanya reaksi silang dengan jadi satu vaksin bisa untuk semuanya, atau sendiri-sendiri, kalau sendiri-sendiri ya repot," jelas Prof Nidom saat dihubungi detikcom Kamis (8/4/2021).
Menyoroti sekian banyak mutasi Corona yang bermunculan, Nidom menyarankan agar vaksinasi dilakukan berhati-hati. Melihat seberapa jauh COVID-19 bermutasi dan mempertimbangkan dampaknya, dengan mengikuti kajian lebih lanjut dari jurnal internasional.
"Saya membaca sepintas ada beberapa vaksin yang tidak merespons secara baik dengan virus Eek ini termasuk virus B117, nah dari situ kan efektivitas vaksin ini kan menjadi menurun, memang ini prinsipnya penggunaan vaksin ini harus hati-hati," lanjut Nidom.
"Kalau terjadi perubahan-perubahan, akan cepat diganti kemudian diisi dengan virus baru, vaksin tidak menjamin, beberapa negara sudah mulai lockdown lagi, artinya virus ini tidak bisa diatasi dengan vaksin dan obat," bebernya.
Teori herd immunity disebut bisa tak cocok lawan COVID-19
Hal lain yang juga menjadi persoalan adalah beberapa orang diklaim Nidom tak menimbulkan antibodi sama sekali pasca divaksin. Pada akhirnya, ia mengkhawatirkan teori herd immunity tak lagi 'ampuh' melawan karakter COVID-19.
"Tapi selama ini sudah kami lakukan pengujian-pengujian kepada orang yang divaksin itu ada 3 macam pada orang yang setelah divaksin, hasilnya pada orang yang setelah divaksin tidak timbul antibodi dan otomatis tidak ada daya proteksinya,
"Yang kedua ada orang yang muncul antibodinya cukup tapi tidak ada proteksinya, yang ketiga pada orang yang muncul antibodinya dan ada protesinya,
Mengaca pada temuan tersebut, Prof Nidom menyebut COVID-19 lebih baik dilawan dengan 'mask immunity'. Artinya, mengedepankan pentingnya protokol kesehatan, terutama memakai masker.
"Herd immunity belum tentu cocok diterapkan untuk covid, lebih baik menggunakan mask immunity, bahwa imunitas yang ditimbulkan karena menggunakan masker, prokes, istilah kasarnya penduduk itu harus dipukuli indonesia harus memakai masker,
"Kalau seluruh indonesia sudah memakai masker, maka itu virus mati di luar tubuh, tapi kalau vaksin itu dibiarkan masuk kemudian digempur di dalam tubuh, akhirnya apa jadinya? Iya virus Eek, B117, nah macam-macam karena dia harus melakukan perlawanan di dalam tubuh, jadi coba kalau saya tinjau dulu teori herd immunity," pungkasnya.
https://trimay98.com/movies/the-monster/
Seumur Hidup Cuma Bisa Sekali Kena Herpes? 5 Mitos Ini Tak Perlu Lagi Dipercaya
Herpes zoster (HZ) atau cacar api merupakan penyakit pada jaringan saraf yang disebabkan oleh virus varicella zoster (VZV), yakni virus yang juga menyebabkan terjadinya cacar air. Ketika virus VZV masuk ke dalam tubuh, virus tersebut akan menetap di dalam saraf dan bisa aktif pada waktu yang tidak terduga.
Umumnya, salah satu jenis penyakit herpes ini tidak bergejala. Namun, seseorang yang terinfeksi virus ini akan mengalami gatal, kesemutan, hingga rasa terbakar pada kulit. Setelah beberapa hari, akan muncul ruam merah serta bintil yang berisi cairan.
Menurut dokter spesialis kulit dan kelamin, dr Anthony Handoko, SpKK, FINSDV dari Klinik Pramudia, penyakit ini bisa dialami oleh siapapun yang sebelumnya pernah mengalami cacar air ketika masih anak-anak.
Oleh karena penyakit ini umum dialami, terdapat banyak mitos yang beredar di masyarakat yang masih dipercaya hingga saat ini. Padahal, menurut dokter ternyata mitos-mitos tersebut merupakan hal yang tidak benar.