Pemerintah resmi melarang mudik Lebaran 2021. Terhitung sudah dua tahun pemerintah tidak membolehkan mudik sebagai salah satu upaya untuk menekan penyebaran virus Corona.
Psikolog klinis Veronica Adesla mengatakan tidak mudik bisa menyebabkan seseorang merasa kesepian, kehilangan, rasa kecewa dan homesick. Namun tidak selalu perasaan ini akan mempengaruhi kondisi kejiwaan.
"Justru jadi homesick karena nggak bisa memenuhi keinginan pulang ke kampung. Mempengaruhi kondisi kejiwaan sih tidak tapi tentu ada rasa kecewa, sedih, walaupun memang kebijakan ini dibuat untuk kepentingan kita bersama.
Homesick bisa menjadi pemicu stres saat seseorang memiliki ekspektasi untuk pulang, namun tidak tercapai sehingga timbul rasa kecewa yang besar. Jika tidak tertangani dan tidak disikapi dengan baik, perasaan ini akan membuncah dan menjadi besar sehingga bisa berdampak pada kondisi mental seseorang.
Jika kondisi ini sudah terjadi selama beberapa minggu dan tetap berlarut dalam emosi yang negatif, bukan tidak mungkin mereka yang merasa homesick akan terganggu kejiwaannya.
"Jadi dicari solusinya, alternatifnya. Banyak cara untuk mengekspresikan kerinduan kita kepada keluarga. Bisa dengan mengirim makanan ke kampung atau video call dengan keluarga di rumah. Sekarang kan sudah sangat modern ya," papar Vero.
Untuk mengurangi rasa stres, bisa juga melakukan aktivitas yang produktif seperti menulis, menggambar, memasak, atau hobi lain untuk mengusir rasa bosan. Menjalani hobi yang sudah lama tidak ditekuni atau melakukan kegiatan baru dan fokus menjalaninya bisa mengatasi rasa stres saat tidak bisa mudik.
https://trimay98.com/movies/fate-stay-night-heavens-feel-i-presage-flower/
Eropa Kaitkan Vaksin Corona AstraZeneca dengan Pembekuan Darah, Ini Gejalanya
Beberapa waktu lalu, komite keamanan dari Badan Obat Eropa (EMA) mengeluarkan pernyataan resmi soal keterkaitan antara vaksin Corona AstraZeneca dan kejadian pembekuan darah. Kondisi ini memang bisa saja terjadi sebagai efek samping langka setelah pemberian vaksin.
Menanggapi ini, Kepala Eksekutif Badan Pengatur Produk Obat dan Kesehatan (MHRA) Dr June Raine mengatakan memang ada bukti yang menguatkan hubungan antara vaksin Corona dengan pembekuan darah. Tetapi, menurutnya risiko itu sangat kecil.
Sementara itu, profesor neurologi klinis dari Institut Neurologi UCL, Prof David Werring, menekankan perlu lebih banyak penelitian lagi terkait kondisi tersebut. Terutama untuk mengetahui siapa saja yang paling berisiko mengalami pembekuan darah setelah divaksinasi hingga sebab-akibatnya.
"Kami masih sangat membutuhkan lebih banyak penelitian untuk memahami individu mana yang memiliki risiko tinggi untuk mengalami pembekuan darah yang tidak biasa ini di otak, meski sangat jarang, seringkali bisa berakibat fatal," jelas Prof Werring yang dikutip dari The Sun, Kamis (8/4/2021).
"Meskipun sebagian besar kasus terjadi pada wanita di bawah usia 60 tahun, ini bervariasi di berbagai negara dengan strategi vaksinasi yang berbeda, sehingga tidak memungkinkan faktor risiko tertentu (seperti usia atau jenis kelamin) untuk diidentifikasi," lanjutnya.
Meski begitu, Prof Werring tetap menekankan agar program vaksinasi harus terus dilanjutkan. Tetapi, ia juga mengarahkan agar orang-orang tetap perlu mewaspadai gejala dari pembekuan darah, terutama di otak, yang mungkin terjadi.
Terkait pembekuan darah, Dr Raine juga menyebutkan beberapa tanda atau gejala yang bisa saja muncul, yaitu:
Sakit kepala: Sakit kepala parah yang terjadi secara tiba-tiba atau progresif.
Adanya masalah neurologis: Masalah neurologis yang dimaksud misalnya mengalami kelemahan di wajah, lengan, atau kaki. Selain itu, mengalami gangguan bicara atau penglihatan, kebingungan, kantuk, hingga kejang-kejang.
Sesak napas: Seseorang bisa mengalami sesak napas saat terengah-engah atau kesulitan untuk menghirup udara seperti biasanya.
Nyeri dan bengkak: Kondisi ini bisa terjadi pada kaki, yang terlihat membengkak atau memerah.
Prof Werring mengatakan jika mengalami gejala-gejala tersebut antara 4-21 hari setelah vaksinasi, segeralah mencari pertolongan medis untuk mengatasinya.