Senin, 18 Mei 2020

Trump Balas Kritik, Sebut Obama Tidak Kompeten

 Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, membalas kritikan yang disampaikan pendahulunya, Barack Obama, terkait penanganan virus corona.

"Begini, dia (Obama) adalah presiden yang tidak kompeten. Sangat tidak kompeten," kata Trump dalam jumpa pers di Gedung Putih, Washington D.C., seperti dilansir Associated Press, Senin (18/5).

Sampai saat ini jumlah kasus virus corona di Negeri Paman Sam mencapai lebih dari 1.4 juta orang. Sebanyak 88.709 penduduk yang terjangkit dilaporkan meninggal.


Virus tersebut terkadang hanya menyebabkan gejala sakit ringan terhadap orang yang terinfeksi. Namun, bagi beberapa orang lainnya, terutama kelompok lanjut usia, virus tersebut bisa menyebabkan mereka sakit keras bahkan hingga meninggal.

Pada Minggu kemarin, Barack Obama kembali mengkritik langkah Pemerintah AS dalam mengatasi pandemi virus corona.

Obama menilai pandemi tersebut memperlihatkan banyak orang lepas tangan dari permasalahan tersebut.

Kritik itu disampaikan Obama dalam pidato pembukaan kelulusan sekolah menengah dan perguruan tinggi yang disiarkan melalui sejumlah media sosial seperti YouTube, Facebook, serta Twitter pada Sabtu (16/5) waktu setempat.

"Pandemi ini akhirnya mematahkan pandangan orang bahwa pihak bertanggung jawab mengetahui hal yang harus dilakukan. Bahkan, banyak dari mereka tidak pura-pura bertanggung jawab," kata Obama dikutip dari AFP.

Dua pekan lalu, Obama menyebut cara Trump menangani pandemi virus corona sebagai "bencana dengan kekacauan yang mutlak".

Obama juga menyatakan wabah penyakit seperti Covid-19 akan semakin menonjolkan ketidaksetaraan yang dialami masyarakat kulit hitam di Amerika Serikat.

"Kami melihat hal yang tidak proporsional akibat Covid-19 dalam komunitas kami. Sama seperti ketika seorang pria berkulit hitam yang sedang berlari dan beberapa orang melihat itu langsung berhenti, menanyakan kondisinya bahkan menembaknya," kata Obama tanpa blak-blakan menyebutkan kasus Ahmaud Arbery.

Eks Menkes: Bergantung Vaksin Bill Gates, Ekonomi Nyungsep

- Menteri Kesehatan di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Siti Fadilah Supari meminta agar Indonesia tidak bergantung pada vaksin virus corona (Covid-19) yang tengah diupayakan oleh pendiri Microsoft Bill Gates. Menurutnya, vaksin tersebut belum tentu ada dalam waktu dekat.

Jika ada, vaksin yang dimaksud juga belum tentu cocok dengan virus corona yang menyebar di Indonesia. Siti mengingatkan ada konsekuensi jika bergantung kepada Bill Gates dan rekan-rekannya.

"Di samping itu kalau kita mendengarkan Bill Gates dan kawan-kawan yang sudah invest dananya di dalam bisnis vaksin dunia, mau tidak mau kita ya harus ikutin maunya mereka maka kita harus perpanjang PSBB, diam saja di rumah. Ekonomi kita akan nyungsep lebih dalam lagi sampai 2021 berakhir," kata Siti dalam tulisannya yang diterima CNNIndonesia.com, Minggu (17/5).


"Apakah itu yang kita pilih? Tunggu vaksin yang belum tentu jadi dan belum tentu cocok. Berpikirlah saudaraku se-Tanah Air," tambahnya.
Lihat juga: Siti Fadilah Sentil WHO, Bill Gates dan Bisnis Vaksin Dunia
Dia menerangkan bahwa sejumlah negara yang perekonomian serta perdagangannya sempat terhenti akibat pandemi virus corona, kini sudah mulai menggeliat, sadar, serta bangun dari ketakutan dan kekhawatiran untuk memulai kembali kehidupan. Dia memberi contoh Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa.

Siti tahu Bill Gates berupaya menghentikan wabah virus corona dengan vaksin yang direncanakan selesai dibuat 18 bulan ke depan. Akan tetapi, Siti mengatakan bahwa Bill Gates sendiri juga tidak menjamin masyarakat bisa beraktivitas kembali seperti biasa jika vaksin telah ditemukan.

Seandainya vaksin dari Bill Gates benar-benar selesai, kata Siti, belum tentu cocok dengan virus corona yang ada di Indonesia. Dia merujuk penelitian Eijkman Institute yang menemukan sequencing virus strain di Indonesia berbeda dengan yang ada di negara lain. Terutama negara yang tengah menguji coba vaksin.

"Kita harus hati-hati di sini, berarti vaksin yang sedang mereka bikin berasal dari virus yang karakternya berbeda dengan vìrus yang ada di Indonesia, maka tidak akan kompatibel dengan kita (tidak cocok sehingga tidak akan efektif)," kata Siti.

Minggu, 17 Mei 2020

2 Hari Jumlah Kasus dan Kematian Corona di Italia Turun, Pertanda Baik?

 Italia melaporkan kabar baik, jumlah kasus infeksi baru virus corona COVID-19 di negara itu mengalami penurunan dalam dua hari terakhir. Namun para pejabat setempat mengatakan masih terlalu dini untuk bergembira.
Dikutip dari New York Times, jumlah kasus infeksi baru pada hari Senin (23/3/2020) kemarin mencapai 4.789 orang. Hal ini jauh lebih sedikit sekitar 700 lebih daripada hari sebelumnya yaitu Minggu (22/3/2020), yang mencapai 5.560 kasus baru.

Tak hanya itu, jumlah kematian akibat virus corona di Italia pun tidak bertambah banyak. Dibandingkan hari Minggu yang mencapai 651 orang, pada hari Senin justru hanya sebanyak 601 orang yang meninggal dunia.

Tentu jumlah ini jauh lebih sedikit daripada sebelumnya yaitu hari Sabtu (21/3/2020), yang juga sebagai hari terkelam di Italia akibat virus corona. Karena sebanyak 793 orang meninggal dunia, dan terdapat 6.557 kasus baru pada hari itu.

"Ini adalah hari penting. Celakalah bagi siapa pun yang menurunkan kewaspadaan," kata Menteri Kesehatan (Menkes) Italia, Roberto Speranza.

"Sekarang, lebih kecil dari sebelumnya dan komitmen semua orang diperlukan untuk ini," tuturnya.

Toko Ini Punya Trik untuk Cegah Pelanggan Borong Hand Sanitizer

Wabah virus corona COVID-19 membuat orang semakin memperhatikan kebersihan, terutama bagian tangan. Untuk membersihkannya, hand sanitizer sangat diandalkan bahkan stoknya kini semakin menipis karena banyak peminatnya.
Berbagai trik dilakukan untuk menjaga stok hand sanitizer di pasaran. Hal ini pun dilakukan oleh salah satu toko di Denmark yaitu Supermarket Rotuden. Toko tersebut menetapkan harga yang unik untuk menekan pembelian.

Toko tersebut menjual satu botol hand sanitizer dengan harga 40 DKK atau setara dengan 67 ribu rupiah. Tapi, jika membeli dua botol harganya justru melonjak jauh menjadi 1.000 DKK yang setara dengan sekitar 1,5 juta rupiah.

Namun, toko ini memiliki alasan dibalik trik harga yang diterapkannya. Dikutip dari New York Post, pihak toko melakukannya untuk membatasi pembelian hand sanitizer dan tidak menimbunnya, sehingga orang lain bisa mendapatkannya juga.

"Pelanggan yang terhormat, kami meminta bantuan dan pengertiannya. Kami meminta semua pelanggan untuk saling menghormati dengan cara menjaga jarak dengan pegawai kami. Kami juga memohon satu orang untuk membeli satu saja hand sanitizer, agar pelanggan yang lain juga bisa mendapatkannya. Terimakasih atas pengertian Anda," tulisnya dalam akun Facebook.

Banyak netizen yang mendukung trik harga yang diterapkan toko tersebut. Kebanyakan dari mereka berpendapat bahwa toko tersebut tidak hanya mementingkan keuntungan saja, tapi memastikan juga orang lain yang membutuhkan bisa mendapatkannya.

Sedihnya Perawat Kehabisan Stok Makanan Usai Kerja 48 Jam Hadapi Corona

Meluasnya wabah virus corona COVID-19 membuat sebagian orang panik, memborong berbagai kebutuhan dasar seperti makanan (panic buying). Hal ini jelas akan membawa efek negatif bagi orang lain seperti yang contohnya dialami oleh seorang perawat di Inggris.
Dawn Bilbrough viral di media sosial ketika ia membagikan videonya sendiri menahan tangis usai tidak bisa menemukan stok makanan di toko sekitarnya akibat diborong oleh orang-orang. Dawn mengaku baru saja selesai bekerja shift 48 jam di ICU.

"Tidak ada buah, tidak ada sayur. Saya tidak tahu bagaimana caranya bisa tetap sehat," kata Dawn dalam video yang diunggah di Facebook.

"Mereka benar-benar menghabiskan makanan. Tolong hentikan. Hentikan karena masih ada orang-orang seperti saya yang harus merawat kamu ketika kamu sakit," lanjutnya.

Mengapa orang-orang terdorong melakukan panic buying dalam masa krisis wabah virus corona? Psikolog klinis dari University of British Columbia, Steven Taylor mengatakan ada tiga alasan utama. Pertama karena merasa upaya penanganan masih kurang memadai, ingin menyiapkan diri di skenario terburuk, hingga ikut-ikutan orang lain.

"Di satu sisi dapat dimengerti, tetapi di sisi lain itu berlebihan," kata Taylor.