- Google akhirnya mengurangi biaya layanan pengembang di Google Play Store menjadi 15% untuk yang pendapatan mereka di bawah USD 1 juta. Sebelumnya Google mengambil potongan sebesar 30% dari setiap pembelian digital di Play Store untuk semua pengembang.
Pada tahun lalu Google telah mengumumkan bahwa biaya layanan Google Play Store hanya berlaku untuk pengembang yang menawarkan penjualan barang dan layanan digital dalam aplikasi.
Meskipun Google mengklaim bahwa lebih dari 97% aplikasi secara global tidak menjual barang digital, dan karenanya sebagian besar tidak membayar biaya layanan apapun.
Dan membahas tentang pengurangan biaya layanan ini hanya berlaku untuk pengembang aplikasi yang memiliki pendapatan di bahwa USD 1 juta. Pengembang aplikasi hanya perlu memberikan informasi pendapatan untuk memastikan hanya membayar biaya 15%..
Dilansir detikINET dari Gizchina, Rabu (17/3/2021) dalam postingan di blognya Google mengatakan bahwa diskon akan otomatis diperpanjang setiap tahun jika penjualan aplikasi pengembang tetap di bawah USD 1 juta per tahun.
Langkah Google ini tentunya akan sangat membantu untuk pengembang baru. Di mana mereka bisa meningkatkan pertumbuhan aplikasi dengan menambah kapasitas server, memperkerjakan lebih banyak tenaga ahli, dan sebagainya.
Diketahui Apple sudah melakukan langkah tersebut pada November 2020 di mana mereka juga memangkas biaya sebesar 15% dengan pendapatan kurang dari USD 1 juta per tahun.
Untuk Pengembang yang berpenghasilan lebih dari USD 1 juta sebagai pembelian dalam aplikasi, Apple masih memotong 30% dari pendapatan sebagai komisi.
Biaya layanan Google Play sebesar 15% ini mulai berlaku pada Juli 2021. "Sebagai platform, kami tidak berhasil kecuali mitra kami berhasil," kata Google.
https://maymovie98.com/movies/ticket-coffee-shop/
Banyak Kebocoran Data, Masyarakat Masih Merasa Aman di Internet
Pemerintah meminta pelaku usaha dan masyarakat untuk ikut mendukung upaya perlindungan data pribadi. Data pribadi jangan disebar sembarangan.
"Untuk menjaga data pribadi ini, bukan hanya dari pemerintahnya saja. Tetapi juga, peran penting dari pelaku usaha sebagai pengendali dan juga masyarakat pemilik data pribadi," ujar Direktur Tata Kelola Aptika Kominfo, Mariam F Barata dalam webinar Literasi Digital, Rabu (17/3/2021)
Maraknya pelanggaran data diri yang terjadi, seharusnya menjadi alasan masyarakat untuk melindungi data pribadi. Namun kenyataannya tidak seperti itu. Penelitian APJII menyebutkan, sebanyak 57% yang merasa aman dengan data diri mereka yang tersebar di internet.
"Walaupun sebenarnya kalau kita lihat banyak ada kasus-kasus yang terkait dengan kebocoran atau pelanggaran data pribadi. Namun dengan adanya kasus itu, masyarakat masih percaya peredaran data pribadi di internet itu masih aman hingga saat ini," ungkapnya.
Ia menyampaikan, bahwa pemerintah tengah membuat Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP). Prosesnya sudah berjalan sejak tahun 2020 diawali dengan menyerahkan surat Presiden ke DPR.
"Ini sebenarnya yang sudah kami lakukan beberapa tahun terakhir terkait perlindungan data pribadi. Walaupun RUU PDP masih diproses di DPR, kami sudah melakukan diskusi dan sosialisasi kepada masyarakat, dan kerja sama dengan Facebook, WhatsApp, ICT Watch dan Siber Kreasi," kata Mariam.
Terdapat tiga pihak yang harus saling bekerja sama agar regulasi yang dibuat bisa diterapkan dengan baik. Jadi tidak hanya pemerintah, tetapi pelaku usaha dan masyarakat ikut membantu. Agar tingkat pelanggaran dan kebocoran data pribadi bisa menurun.
"Kami sudah melakukan pembahasan dengan DPR terkait regulasi ini. Kemudian sudah 145 dari 371 DIM yang kami bahas," kata Mariam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar