Vaksin Corona Moderna diklaim 96 persen efektif untuk anak-anak di usia 12 hingga 17 tahun. Data tersebut merupakan hasil awal penelitian yang dirilis pada Kamis (6/5/2021).
Moderna berencana akan segera mengajukan data lengkap ke otoritas obat Amerika Serikat (FDA), setidaknya akhir bulan ini. Data awal vaksin Corona Moderna didapat dari uji coba lebih dari 3 ribu peserta berusia 12 hingga 17 tahun.
"Vaksin dapat ditoleransi dengan baik tanpa adanya masalah keamanan," jelas Moderna, pengembang vaksin COVID-19 berteknologi mRNA, dikutip dari CNBC, Rabu (7/5/2021).
CEO Moderna Stephane Bancel menjelaskan kemungkinan pemberian dosis vaksin Corona Moderna akan membutuhkan suntikan 'booster' di masa datang. Hal ini menanggapi beragam varian Corona yang belakangan ditemukan.
Diharapkan, suntikan 'booster' bisa meningkatkan respons antibodi pasca divaksinasi. Terutama untuk melawan varian B1351 Afrika Selatan hingga varian P-1 yang diyakini lebih 'ganas' daripada strain COVID-19 aslinya.
"Varian baru yang menjadi perhatian terus bermunculan di seluruh dunia. Dan kami yakin bahwa selama enam bulan ke depan, saat Belahan Bumi Selatan memasuki musim gugur dan musim dingin, kami dapat melihat lebih banyak varian kekhawatiran muncul," kata Bancel.
"Kami yakin suntikan 'booster' akan dibutuhkan karena kami yakin virus tidak akan hilang."
https://maymovie98.com/movies/dirty-weekend/
Raditya Oloan Alami Badai Sitokin Sebelum Meninggal, Ini Dampaknya Pada Tubuh
Suami aktris Joanna Alexandra, Raditya Oloan, meninggal dunia setelah sempat terpapar dan sudah negatif COVID-19. Kondisinya memburuk lantaran mengalami badai sitokin.
Raditya yang memiliki riwayat asma sempat dirawat di ICU RS Persahabatan dengan ventilator atau alat bantu pernapasan sebelum akhirnya berpulang pada Kamis (6/5/2021).
Dikutip dari WebMD, badai sitokin terjadi ketika sistem imun bereaksi berlebihan terhadap infeksi.
Pada umumnya protein sitokin dihasilkan oleh sel tubuh untuk menjadi sinyal respons pertahanan terhadap infeksi. Protein ini memicu peradangan dan kematian terhadap sel.
"Jadi ketika ada sel yang mendeteksi benda asing, atau ada hal buruk terjadi, respons utamanya adalah untuk bunuh diri... Ini adalah mekanisme pertahananan agar penyakit tidak menyebar ke sel lain," papar imunolog Mukesh Kumar dari Georgia State University.
Hanya saja ketika sitokin dihasilkan pada tingkat yang lebih tinggi dari normal, respons yang terjadi juga berlebihan. Sel-sel imun bereaksi lebih tinggi menyebabkan peradangan dan kematian pada sel-sel sehat.
"Pada dasarnya sebagian besar sel Anda akan mati karena badai sitokin. Hal ini biasanya menggerogoti paru-paru. Tidak bisa disembuhkan," lanjut Mukesh.
Dalam studi yang dipublikasi di jurnal Mediators of Inflammation, peneliti Mujahed I Mustafa mengatakan badai sitokin juga bisa menyebabkan pembekuan atau penggumpalan darah. Dampaknya dapat terjadi kerusakan pada berbagai organ akibat suplai oksigen yang terganggu.
"Senyawa peradangan yang dihasilkan pada kasus infeksi COVID-19 memicu hati membuat protein yang dapat melindungi tubuh dari infeksi. Namun, protein ini juga memicu penggumpalan darah, yang kemudian dapat menyumbat pembuluh darah di jantung dan organ lain," tulis peneliti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar