Setelah pelantikan beberapa anggota kongres AS dari partai Demokrat, mereka meminta Facebook, Twitter dan YouTube untuk melakukan perubahan besar terkait kebijakan anti-radikalisasi.
Ketiga platform ini dinilai turut berkontribusi atas kerusuhan dan kekerasan yang terjadi di gedung Capitol Hill pada awal bulan ini.
Dalam surat yang ditujukan kepada kepala eksekutif Facebook, Twitter dan YouTube, Anna Eshoo dan Tom Malinowski bersama dengan beberapa anggota kongres lainnya telah menyerukan agar para raksasa media sosial ini melakukan perubahan besar pada platformnya untuk mencegah aktivitas kekerasan dan ekstremis.
Para anggota parlemen menuduh ketiga perusahaan tersebut menggunakan fitur atau algoritma tertentu untuk meningkatkan konten yang membangkitkan emosi ekstrem sebagai cara dukungan bagi kelompok. Mereka pun secara spesifik menunjukkan fitur yang harus diubah di setiap platform.
Untuk YouTube, kongres meminta untuk menonaktifkan putar otomatis dan berhenti merekomendasikan konten konspirasi apapun di beranda pengguna.
Lalu Facebook diminta untuk memulai pemeriksaan ulang mendasar atas penggunaan keterlibatan penggunanya sebagai dasar penyortiran algoritmik dan rekomendasi.
Sedangkan Twitter, diminta untuk mulai mendorong pengguna mengutip tweet daripada secara otomatis me-retweet ketika mengklik tombol retweet.
"Kerusakan mengerikan pada demokrasi kita yang ditimbulkan pada 6 Januari lalu menunjukkan bagaimana platform media sosial ini berperan dalam meradikalisasi dan memberanikan teroris untuk menyerang Capitol Hill," kata Eshoo dalam sebuah pernyataannya, seperti dilansir detiKINET dari The Verge.
"Perusahaan-perusahaan ini pada dasarnya harus memikirkan kembali sistem algoritmik yang bertentangan dengan demokrasi," lanjutnya.
Menanggapi ini, Facebook dan YouTube menolak untuk memberikan komentarnya. Sedangkan juru bicara Twitter mengatakan mereka telah menerima surat tersebut dan akan memberikan tanggapannya.
https://kamumovie28.com/movies/fist-of-legend-2/
Analisis Ini Sebut Lockdown Tak Berpengaruh Besar Atasi COVID-19
Lockdown di awal pandemi kerap digencarkan sebagai langkah untuk pencegahan penularan COVID-19. Namun analisis berikut ini mengungkapkan bahwa lockdown tidak berpengaruh besar.
Analisis yang dilakukan oleh Frans Rautenbach yang merupakan ahli hukum di Cape Town Bar dan penulis 'South Africa can work' menjabarkan pendapatnya. Berdasarkan indeks dari Our World in Data, ia membaca tidak ada korelasi antara keketatan pemerintah seperti lockdown dengan angka kematian akibat COVID-19.
"Secara kontras, korelasi ada pada arah yang berlawanan. Lockdown yang lebih ringan diasosiasikan dengan total kematian yang rendah," tulisnya sebagaimana dikutip dari News 24.
Namun perlu dicatat, korelasi ini tidak bisa dinyatakan sebagai bukti penyebab. Ada beberapa hal yang bisa memengaruhi langkah yang dilakukan pemerintah terhadap angka kasus COVID-19.
Menurut Rautenbach, standar keketatan lockdown menjadi tidak begitu penting dibandingkan waktu penerapan keketatan dijalankan. Sebagai contoh Selandia Baru, negara ini dianggap pandai dalam menentukan waktu lockdown ketat dan mengubahnya juga menjadi lebih rileks di waktu yang pas pula. Angka kematian di sana pun terbilang rendah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar