Rabu, 20 Januari 2021

Viral Netizen Bandingkan Dexamethasone Vs Vaksin COVID-19, Ini Faktanya

 Di media sosial Twitter ramai unggahan dari netizen yang membahas obat murah dexamethasone untuk pasien COVID-19. Ia mempertanyakan motivasi pemerintah membeli vaksin padahal ternyata sudah ada obat murah untuk COVID-19.

"Wah panas dingin ini pemain Vaksin, mana udah borong pula Ratusan juta vaksin baik dari China maupun tempat lain, ternyata obatnya Covid murah," ujar sang netizen yang menduga Menteri BUMN Erick Thohir melakukan korupsi lewat impor vaksin.


Unggahan itu disertai cuplikan berita di televisi tentang dexamethasone yang pada pertengahan 2020 lalu memang dikembangkan sebagai obat untuk pasien COVID-19 dengan gejala berat.


Komentar yang pertama kali diunggah pada 19 Januari tersebut kini sudah mendapat lebih dari 790 retweet dan disukai lebih dari 1,1 ribu pengguna.


Faktanya, dexamethasone memang dianggap sebagai salah satu terapi obat yang bisa diberikan untuk pasien COVID-19. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada bulan Oktober 2020 lalu menyebut dexamethasone bisa mengurangi angka kematian pada pasien dengan gejala parah.


Hanya saja WHO dan badan kesehatan lainnya menekankan bahwa dexamethasone adalah obat keras dan bukan untuk mencegah virus Corona. Selain itu tidak semua pasien yang diberikan dexamethasone pasti akan sembuh.


"Dexamethasone tidak dapat digunakan untuk pencegahan COVID-19," tulis Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI dalam keterangan tertulis bulan Juni lalu.


Pada saat dexamethasone diumumkan sebagai terapi untuk pasien COVID-19, pengembangan vaksin masih belum terlalu jauh. Kabar soal izin penggunaan darurat vaksin COVID-19 baru muncul di akhir tahun 2020.


Vaksin COVID-19 dalam hal ini bekerja sebagai pencegah terjadinya infeksi atau gejala COVID-19 yang berat dengan melatih sistem imun.

https://movieon28.com/movies/snakes-ladder/


Komnas KIPI: Tak Semua Kejadian Pasca-Imunisasi Terkait Vaksin


Ketua Komnas Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (Komnas KIPI) Prof Dr dr Hinky Hindra Irawan Satari, SpA(K), mengatakan tidak semua gejala pasca imunisasi terkait vaksin.

Secara umum, KIPI memang kerap terjadi saat pelaksanaan vaksinasi. Vaksin dianggap sebagai 'benda asing' sehingga memicu reaksi di dalam tubuh. Namun tidak semua kejadian pasca imunisasi berkaitan dengan penyuntikan vaksin.


"Tidak selalu apa-apa yang terjadi setelah imunisasi ada kaitannya, harus dibuktikan dulu dengan gejala, tanda, pemeriksaan lab," kata Prof Hindra dalam diskusi virtual Forum Merdeka Barat 9 di YouTube, Rabu (20/1/2021).


Sebelum menyimpulkan apakah hal tersebut berkaitan dengan vaksin atau tidak, Komnas KIPI akan mengkaji dan mengklasifikasi penyebab spesifiknya. Dalam penjelasannya, Prof Hindra mengatakan ada beberapa reaksi yang diterima setelah suntik vaksin.


"Yang terbanyak itu coincident. Semua kejadian dihubungkan dengan imunisasi. Mau sehari setelah, seminggu setelah, sebulan setelah, bahkan empat tahun setelah vaksinasi," ucapnya.


KIPI sendiri dibagi menjadi dua jenis, yakni serius dan non-serius. KIPI serius meliputi kejadian medik yang menyebabkan rawat inap, kecacatan dan kematian. Sementara yang non-serius tidak menimbulkan risiko potensial.


Adapun reaksi yang mungkin terjadi setelah imunisasi COVID-19 yakni reaksi lokal (nyeri, kemerahan, bengkak), reaksi sistematik (demam, nyeri seluruh tubuh, pusing), dan reaksi lainnya (alergi, syok, pingsan).


"Bila sampai dirawat tentunya semua akan ditanggung oleh negara karena ini merupakan program vaksinasi nasional," pungkasnya.

https://movieon28.com/movies/bukaan-8/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar