Pendaki pasti familiar dengan mitos larangan memakai baju hijau di Gunung Lawu. Bukan soal cerita mistis, ini adalah kearifan lokal yang turun menurun.
Bagi anda yang ingin melakukan pendakian gunung Lawu menyambut Agustus di Jalur Singolangu wajib memperhatikan peraturan dan syaratnya. Jalur petilasan raja Brawijaya itu memiliki mitos larangan memakai pakaian berwarna hijau muda.
"Kalau larangan mengenakan baju warna hijau muda itukan mitos dari orang tua dulu. Dan kita menghargai kearifal budaya lokal itu," kata Ketua pos pendakian jalur Singolangu, Nuryanto, kepada detikcom Rabu (24/7/2019).
Mitos larangan mengenakan baju warna hijau muda itu, kaya Puryanto, tidak hanya di jalur Singolangu saja. Larangan itu lanjut Puryanto juga di semua jalur ke puncak gunung Lawu."Kalau larangan sepertinya di semua jalur menuju puncak Lawu," imbuhnya.
Hal senada juga di akui oleh petugas pemantau dari BPBD Kabupaten Magetan, Nedi. Kepercayaan larangan memakai pakaian berwarna hijau muda hal yang lumrah seperti halnya mitos di pantai selatan.
"Kalau mitos itukan tidak di Gunung Lawu saja. Sepertinya di pantai selatan juga ada larangan karena identik dengan warna kesukaan nyi Roro Kidul," ungkap Nedi.
Namun, Nedi meyakinkan, jalur Klasik Singolangu tidak hanya tentang mistis. Jalur tersebut menyuguhkan eksotisme pemandangan hijau hutan yang luar biasa masih alami. Ditambah Sumber mata air yang berlimpah dengan udara yang cukup sejuk juga disajikan.
"Pendaki juga disuguhkan track berupa jalan tanah yang cukup landai. Ia juga mengklaim, jalur klasik ini cocok bagi pemula. Untuk pendaki yang suka dengan jalur menanjak juga bakal melewati Tanjakan Penggik. Tanjakan sepanjang 500 meter itu cukup menguji tenaga dan adrenalin lantaran memiliki kemiringan 45 derajat," tuturnya.
Satu hal yang harus di catat bagi pendaki, wajib membawa sampah turun saat membawa makanan bekal menuju puncak. Untuk menuju pintu utama jalur Singolangu anda jika dari arah Magetan Kota menuju arah Telaga sarangan sekitar 10 Km.
Saat sampai di pertigaan sentra buah stroberi Simpang arah Telaga Sarangan cukup lurus sejauh sekitar 500 meter sudah sampai di Simpang Singolangu. Jalur Singolangu menuju puncak Lawu dapat ditempuh sekitar sembilan sampai sepuluh jam jalan kaki.
Kunci Toleransi dan Kebersamaan Warga Belitung: Kopi
Belitung merupakan pulau kecil di barat Indonesia. Pulau ini, terkenal dengan ketenangan dan suasananya yang tentram, ternyata kuncinya...
Salah satu yang menjadi ciri khas Belitung adalah warung kopi yang tersebar di berbagai wilayah. Hampir di setiap lokasi, warung kopi selalu tersedia di Pulau Belitung.
Ternyata, budaya ngopi inilah kunci dari toleransi dan kebersamaan warga Negeri Laskar Pelangi. Wah, bagaimana kisahnya?
Kopi merupakan salah satu rempah yang banyak dihasilkan dari tanah Belitung. Selain lada, kopi Belitung pun terkenal kelezatannya. Rasanya bukan seperti kopi kekinian, legit namun pas dinikmati.
Umumnya, warung kopi di Belitung ramai hampir setiap waktu. Mulai dari pagi, hingga malam hari. Bahkan, dini hari pun masih ramai dikunjungi.
Menurut Fitro, warga asli Belitung, kopi pun menjadi budaya yang mendarah daging. Semua obrolan pun dimulai dari warung kopi. Mulai dari tua hingga muda, perempuan dan laki-laki.
"Di sini, warung kopi itu banyak. Biasanya, orang-orang bertemu rekan di warung kopi," ujarnya saat ditemui detikcom beberapa waktu lalu.
Di warung kopi, umumnya orang-orang bertemu kerabat untuk sekadar mengobrol. Perbincangan apapun dilontarkan, mulai dari hal serius sampai beberapa masalah sederhana. Menurut Fitro, inilah sebuah bibit keakraban yang menjadi budaya.
Bahkan, kegiatan ngopi pun menjadi prioritas. Kaum bapak-bapak, atau lelaki yang sudah bekeluarga bahkan meluangkan waktu di pagi hari sebelum bekerja dan setelah pulang.
Pagi buta dengan waktu minim pun tetap disempatkan untuk berinteraksi di warung kopi. Mengakali kopi yang belum habis tetapi sudah bekerja pun diterapkan.
"Kopi segelas, dituang dibagi dua. Karena masuk kerja jam 7, sayang kalau tidak habis. Nanti sisanya, untuk ngopi saat istirahat atau pulang," kata Fitro.
Bahkan, kaum adam yang sudah menikah pun sering menerima celotehan sang istri karena sering membeli kopi di luar rumah.
"Banyak istri protes di sini (kepada suaminya) kenapa sih mesti di luar, kan saya bisa bikin kopi. Padahal, yang dicari adalah interaksinya," ucap Fitro.
Namun, budaya inilah yang mempererat tali silaturahmi antar warga Belitung. Mereka pun umumnya datang dari berbagai kepercayaan, namun tetap hidup rukun dan tentram satu sama lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar