Seorang dokter berinisial "A" saat ini menjadi perbincangan karena memutus hubungan dengan kedua orang tuanya sendiri. Terlebih, A memutuskan hubungan setelah dibesarkan dan disekolahkan oleh orang tuanya hingga menjadi dokter.
Dokter A dikabarkan tak mengundang orang tuanya ke pesta pernikahan yang telah mereka biayai. Puncaknya, dokter A memasang sebuah iklan di koran nasional menyatakan putus hubungan dengan kedua orang tuanya.
Menanggapi hal ini, psikolog klinis dari Ciputra Medical Center, Christina Tedja, MPsi, mengatakan terdapat dua kemungkinan seseorang melakuakan tindakan tersebut, di antaranya toxic relationship dan lingkungan.
"Iya mungkin saja toxic relationship atau pengaruh lingkungan," ujar Christina saat dihubungi detikcom, Kamis (28/5/2020).
Menurut Christina, penyebab terjadinya toxic relationship biasanya berawal dari konflik pribadi yang terjadi. Dalam kasus ini, salah satu faktornya bisa jadi karena trauma yang dialaminya sejak kecil.
"Misalnya saat anak masih kecil terlalu banyak mengalami pengalaman negatif di marahin, dikritik, tidak didukung, kekerasan, dan lain-lain. Nah di saat yang bersamaan anak masih membutuhkan orang tua karena anak masih dependen," kata Christina.
"Ketika besar sudah memiliki power (uang, mandiri, dan lain-lain) maka anak akan belajar marah, mengkritik, tidak mendukung," jelasnya.
Sedangkan faktor lingkungan, dapat terjadi ketika seseorang merasa aman dan nyaman di lingkungan tersebut. Sehingga lebih mendengar omongan dari lingkungannya dibanding orang tua.
"Ketika kita berada pada lingkungan tersebut, maka kita akan cenderung lebih mudah untuk percaya dan berperilaku sosial yaitu mengikuti apa yang kebanyakan disarankan atau dilakukan pada lingkungan tersebut," pungkasnya.
Lonjakan Kasus Corona RI Sudah Banyak Diprediksi, Bagaimana Perhitungannya?
Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Virus Corona, Achmad Yurianto, memperkirakan bakal ada peningkatan kasus virus corona COVID-19 secara signifikan. Hal ini rupanya sudah banyak diprediksi.
Di media sosial, sebuah proyeksi tentang hal itu sempat viral belakangan ini. Dikatakan, saat ini jumlah orang yang sesungguhnya sudah terinfeksi diklaim mencapai 3.000 kasus.
"Surprisingly, angka yang gw dapet adalah walaupun officially pemerintah bilang baru 134 orang yang terdeteksi kena virus ini, jumlah total infeksi nya menurut estimasi model itu sudah lebih dari 3000 orang!" tulis seorang netizen di akun Twitter @arri*han*.
Dalam utas tersebut, ia juga menuliskan bahwa dalam 10 hari jika tidak dilakukan usaha pendeteksian maka estimasi yang terinfeksi bisa mencapai 10 ribu jiwa.
Gw semalem coba modeling untuk estimasi berapa jumlah orang yang sudah terinfeksi (ga cuma terdeteksi) COVID-19 di Indonesia. Ini hasilnya: https://t.co/XYaBX0KIkF— Arridhana Ciptadi (@arridhana) March 16, 2020
Nurul Nadia, konsultan kesehatan masyarakat dari Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), mengatakan memang ada banyak cara untuk memperkirakan berapa kasus COVID-19 yang menyebar di Indonesia. Hanya saja, hingga kini data masih sangat sedikit sehingga permodelan tersebut juga punya kekurangan.
"Kuncinya harus ada datanya dulu yang cukup. Nah saat ini data kita masih sangat kurang jadi modelingnya pun sangat kasar dan memiliki kelemahannya masing-masing," katanya kepada detikcom, Selasa (17/3/2020).
Saat ini, yang pasti, Nurul menyebut penularan virus corona sudah berada di level community transmission. Artinya pemerintah harus menegakkan tes atau diagnosa yang cepat untuk menemukan kasus-kasus virus corona dengan gejala minimal.
"Memperkirakan seberapa luas community transmission dan berapa kasus yang tersebar memang harus dilakukan skrining masif. Mengambil data dengan survey dan sampling berapa banyak masyarakat yang ternyata punya gejala COVID-19 dan berapa di antara mereka yang memiliki gejala ringan dan (positif) COVID-19," jelasnya.
"Bisa dilakukan dan menjadi perkiraan proyeksi jumlah COVID-19 di masyarakat saat ini," pungkasnya.
https://cinemamovie28.com/cast/ivano-marescotti/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar