Infeksi virus corona COVID-19 selama ini banyak dikaitkan dengan gejala khas demam, batuk, dan sesak napas. Penelitian terbaru mengungkap, diare juga banyak dikeluhkan pasien corona.
Penelitian terhadap 204 pasien di Wuhan, ground zero wabah COVID-19 yang memicu pandemi saat ini, menemukan bahwa 99 pasien atau 48,5 persen masuk rumah sakit dengan masalah pencernaan. Sebelumnya mereka tidak punya riwayat sakit perut.
Keluhan yang banyak dilaporkan adalah sebagai berikut:
Hilangnya nafsu makan 83 persen
Diare 29 persen
Muntah 0,8 persen
Nyeri lambung 0,4 persen.
Sebagian besar di antaranya disertai masalah pernapasan seperti batuk kering dan susah bernapas. Namun 7 pasien dilaporkan hanya mengeluh sakit perut.
Riset ini juga mengungkap, pasien COVID-19 dengan masalah pencernaan cenderung lebih lama mencari pertolongan ke rumah sakit. Dikutip dari CBSnews, butuh rata-rata 9 hari untuk datang ke rumah sakit, dibandingkan hanya 7,3 hari pada pasien yang mengeluhkan masalah pernapasan.
Sederet Catatan untuk Klorokuin, 'Obat Corona' Kontroversial Pilihan Jokowi
Presiden Joko Widodo menjatuhkan pilihannya pada Avigan dan Klorokuin sebagai obat untuk membantu kesembuhan virus corona COVID-19. Klorokuin selama ini dikenal sebagai obat malaria dan di beberapa negara terbukti efektif untuk COVID-19 meski sempat dilabeli sebagai 'disinformasi' oleh Kominfo.
"Ya pertama antivirus sampai sekarang belum ditemukan, tapi ada beberapa obat yang dicoba di 1, 2, 3 negara yang memberi kesembuhan," klaim Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Jumat (20/3/2020).
Sebelumnya, sejumlah pakar memberikan catatan terkait efektivitas klorokuin atau chloroquine phosphate. Sebagian besar menekankan belum adanya bukti ilmiah yang cukup untuk obat yang juga dipakai untuk mengobati lupus dan rheumatoid arthritis.
"Belum ada bukti yang cukup kuat untuk menjadi obat pilihan," kata Ketua Satgas COVID-19 Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Prof Zubairi Djoerban, dalam sebuah diskusi baru-baru ini.
Pendapat senada juga disampaikan Ketua Departemen Farmakognosi dan Fitokimia, Fakultas Farmasi Universitas Airlangga Surabaya, Dr Aty Widyawaruyanti, MSi, Apt. Menurut informasi yang ia dapat, aktivtas terhadap COVID-19 masih berupa penelitian awal.
"Belum terbukti bahwa klorokuin bisa dijadikan obat antivirus covid-19," kata Aty, yang juga menyebut bahwa klorokuin saat ini sudah tidak dipakai lagi untuk mengobati malaria karena sudah terjadi resistensi.
Situs Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bahkan sempat memasukkan klaim obat malaria bisa mengobati COVID-19 dalam daftar hoax untuk kategori disinformasi. Pernyataan seorang pejabat organisasi kesehatan dunia WHO menjadi dasar untuk membantah klaim tersebut.
"Janet Diaz, Kepala Perawatan Klinis dalam Program Emergensi WHO saat konferensi persnya pada tanggal 20 Februari 2020 mengatakan bahwa belum ada bukti tentang klorokuin dapat mengobati Covid-19 dan ia menegaskan bahwa sampai saat ini belum ada vaksin atau obat antivirus yang spesifik untuk mencegah atau mengobati Covid-19," tulis Kominfo, saat itu.
Belakangan, Kominfo meralat informasi tersebut dan telah mencabut stempel 'Disinformasi'. Klarifikasi ini didasarkan pada informasi terbaru pada 16 Maret 2020 yang menyatakan bahwa klorokuin direkomendasikan untuk menjadi bagian dalam proses penyembuhan COVID-19 dan telah melewati uji klinis terhadap 100 pasien di 10 rumah sakit di China.
The US Food and Drug Administration (FDA) saat ini juga tengah menginvestigasi penggunaan klorokuin untuk mengobati COVID-19. Presiden AS Donald Trump bahkan mengklaim klorokuin dan turunannya hidroksiklorokuin (hydroxychloroquine) telah disetujui FDA sebagai obat COVID-19.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar