Venezuela adalah salah satu negara yang menerapkan lockdown untuk menekan penyebaran virus Corona. Namun kondisi ini membuat banyak masyarakat mengalami kelaparan. Apalagi di kota San Cristobal puluhan warga terpaksa mengantre bahan makanan gratis, yakni darah sapi.
Salah satu masyarakat Venezuela Aleyair Romero menceritakan dia kehilangan pekerjaannya sebagai mekanik akibat pandemi ini. Dia menyebut bantuan makanan dari pemerintah sangat terlambat dan membuat dia dan warga lainnya kelaparan.
"Saya harus tetap mencari bahan makanan sebisa mungkin," kata Romero sambil memegang termos yang berlumuran darah sapi.
Sebenarnya darah sapi adalah bahan makanan yang biasa digunakan untuk membuat sup pichon di Andes Venezuela dan Kolombia. Namun akibat krisis Corona ini masyarakat berbondong-bondong mencari darah sapi tersebut di rumah jagal.
Darah sapi biasanya dikonsumsi oleh orang-orang yang berpenghasilan rendah karena harga daging di Venezuela setara dengan dua kali upah minimum.
Mengutip Reuters, Jumat (15/5/2020), makin banyaknya masyarakat yang mencari dan mengonsumsi darah ternak ini mencerminkan kelaparan yang terjadi akibat tekanan ekonomi di Venezuela.
Kondisi ini terjadi karena lockdown dan lambatnya bantuan logistik dari pemerintah. Direktur Citizenry in Action Edison Arciniegas mengungkapkan penduduk Venezuela bisa meninggal dengan cepat.
"Bukan virus yang membunuh mereka, tetapi kelaparan," ujarnya.
Menurut dia sebelum pandemi COVID-19 saja PBB menyebut Venezuela adalah salah satu dari 10 negara yang mengalami krisis kemanusiaan terburuk di dunia pada 2019. Hal ini karena 9,3 juta dari 30 juta penduduk mengonsumsi makanan dalam jumlah yang sedikit.
Pemerintahan presiden Maduro memang telah membangun dapur umum untuk memfasilitasi masyarakat saat lockdown pada pertengahan Maret. Namun distribusi makanan itu kerap kali terlambat dan tidak tepat sasaran ke masyarakat.
Sebuah dapur umum di wilayah miskin Carapita di Caracas menyebut menyediakan makanan untuk 80 anak anak, namun mereka juga memberi makan untuk sekitar 350 orang dewasa.
Dalam satu hari makanan yang diberikan adalah semangkuk sup, sandwich ham dan keju. Sebagian ibu mengeluarkan ham dan keju mereka untuk sarapan anak pada hari berikutnya.
"Ini tidak cukup untuk kami. Bahkan saya tidak punya makanan untuk diberikan kepada mereka besok," imbuh dia.
Obat Corona Buatannya Tak Manjur, Saham Fujifilm Rontok
Saham Fujifilm Holdings Corp anjlok lebih dari 4% pada awal perdagangan Rabu ini. Hal tersebut menyusul laporan bahwa obat antiflu Avigan buatan mereka tidak menunjukkan kemanjuran yang nyata dalam pengobatan virus Corona. Itu berdasarkan uji klinis sejauh ini.
Dikutip detikcom dari Reuters, Rabu (20/5/2020), hasil uji klinis itu menimbulkan keraguan tentang persetujuan obat pada akhir bulan ini.
Pada catatan detikcom, obat tersebut dikembangkan melalui anak usahanya, Fujifilm Toyama Chemical. Perusahaan pengembang obat tersebut yang dikenal juga dengan Avigan, telah mengembangkan obat yang diberi nama favipiravir itu sejak 2014.
Sebelumnya pejabat kesehatan China mengatakan sebuah obat yang digunakan di Jepang "efektif" untuk menangani pasien yang mengidap virus corona COVID-19. Pernyataan ini disampaikan oleh pejabat Kementerian Sains Dan Teknologi China, Zhang Xinmin.
Dia menilai obat bernama favipiravir, yang dikembangkan anak perusahaan Fujifilm, telah mencetak hasil memuaskan dalam uji klinis di Wuhan dan Shenzhen yang melibatkan 340 pasien.
"Favipiravir memiliki tingkat keamanan yang tinggi, yang efektif dalam penanganan pasien corona," ujar Zhang kepada awak media, seperti dikutip dari Guardian, Rabu 18 Maret 2020.
Saham perusahaan dari perusahaan Avigan pun sempat meroket usai pernyataan Zhang yang beredar di media. Sejak COVID-19 mewabah, sejumlah dokter di Jepang telah menggunakan favipiravir untuk mengobati para pasiennya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar