Pemberian sanksi masuk peti mati untuk para pelanggar protokol kesehatan COVID-19 di Jakarta tengah jadi sorotan. Warga yang melanggar, misalnya tidak menggunakan masker, diminta masuk ke dalam peti mati.
Selain itu, para warga yang melanggar protokol ini juga dipakaikan rompi berwarna oranye. Pemberian sanksi ini terjadi di Perempatan Gentong RT 11 RW 11, Kalisari, Pasar Rebo, Jakarta Timur.
Sanski serupa juga diberlakukan di Kabupaten Bogor. Warga yang tidak patuh menggunakan masker diminta masih ke mobil ambulans yang berisi keranda mayat. Tujuannya mirip, yakni memberikan efek jera.
Menanggapi sanksi seperti ini, ahli penyakit tropik dan infeksi dari RS Cipto Mangunkusumo (RSCM), dr Erni Juwita Nelwan, SpPD, menilainya tidak bermanfaat. Bukannya memberikan efek jera, masuk peti mati yang dipakai bergantian malah bisa meningkatkan risiko penularan.
"Punishment (hukuman) yang dibikin ini kan nggak ada manfaatnya dengan memasukkan orang ke dalam peti seperti itu, malah nanti bergantian masuk dan meningkatkan risiko penularan," tegas dr Erni saat dihubungi detikcom, Jumat (4/9/2020).
"Kalau mau bikin efek jera, itu nggak mudah mengubah perilaku seseorang. Kalau mau, jangan ada rasa bosan untuk mengingatkan dengan cara yang baik," saran dr Erni.
Menurut dr Erni, berdasarkan cerita dari rekan-rekannya yang diingatkan memakai masker dengan cara yang tidak simpatik, akan membuat orang tersebut semakin malas menggunakannya.
dr Erni menyarankan agar hukuman untuk hal yang seperti ini diberikan dan dilakukan dengan cara yang baik dan benar. Jangan sampai hukuman yang diharapkan sebagai sanksi dan membuat orang jera malah hanya menjadi bahan lucu-lucuan, tidak mengubah apapun, dan bisa memicu terjadinya klaster baru.
"Apakah bisa jadi klaster baru? Ya bisa lah. Kan kita nggak tahu orang-orang itu OTG (orang tanpa gejala) atau bukan, bawa virus atau nggak," pungkasnya.
Viral Kisah Dokter Berburu ICU untuk Pasien COVID-19, 21 RS Penuh Semua
Beberapa waktu lalu viral cerita dokter yang merawat pasien virus Corona COVID-19 di media sosial. Dokter tersebut bernama Disa Edralyn. Dalam sebuah utas yang diunggah di akun pribadi miliknya, dr Disa mengatakan bangsal isolasi untuk pasien Corona penuh.
Diceritakan oleh dr Disa, ia awalnya akan merujuk pasien Corona pro HCU (High Care Unit) dan menghubungi puluhan rujukan rumah sakit swasta untuk COVID-19. Namun, rumah sakit menolak untuk menerima pasien rujukan dengan alasan ICU yang penuh.
dr Disa sudah menghubungi rumah sakit yang tersebar di Jakarta, Bekasi, dan Tangerang tetapi tidak ada ruangan yang bisa ia dapat.
"Jadi waktu itu posisinya pasien itu butuh fasilitas yang lebih tinggi yang tidak tersedia di rumah sakit saya, karena dalam waktu 3 jam saya cari di 21 rujukan rumah sakit swasta dan bukan RSUD pemerintah. Kalau digabungkan dengan RSUD pemerintah banyak lagi yang saya cari. Sekitar 21 rumah sakit rujukan swasta saja penuh, semuanya menolak dengan alasan ICU penuh," papar dr Disa, saat dihubungi detikcom Rabu (2/9/2020).
Hal ini membuat dr Disa khawatir, jika pasien virus Corona COVID-19 terus bertambah di mana mereka akan diisolasi dan siapa yang pula yang akan merawat mereka jika perawat saja sudah banyak yang terpapar Corona.
Dari data yang dihimpun oleh Satgas COVID-19, okupansi atau keterisian tempat tidur di rumah sakit, khususnya di DKI Jakarta, terus meningkat. Untuk ruang isolasi, kapasitasnya sudah mencapai 69 persen dan ICU khusus pasien Corona 77 persen.
Tentunya kondisi tersebut sangat tidak ideal. Penuhnya tempat tidur di rumah sakit akan menambah beban tenaga medis yang akhirnya berdampak pada kesehatan mereka. Tak sedikit juga akhirnya nakes yang tertular COVID-19 bahkan ada yang meninggal dunia.
"Saya dan teman saya beberapa sudah terpapar, yang bukan teman-teman saya tapi sesama dokter sudah banyak sekali yang sudah terpapar," tambah dr Disa.
dr Disa menambahkan, penyakit virus Corona ini bukanlah penyakit yang dalam satu atau dua hari bisa sembuh. Butuh waktu minimal satu hingga dua minggu untuk perawatan pasien Corona. Ini juga tergantung bagaimana kasusnya, apakah berat atau ringan.
Pasien Corona dengan kasus berat membutuhkan ventilator atau alat bantu napas. Sedangkan pada pasien Corona dengan kasus ringan tidak menggunakan ventilator atau alat bantu napas.
Kesediaan tempat tidur juga menjadi hal utama untuk merawat pasien Corona. dr Disa mengatakan semakin banyak pasien maka tempat tidur dan tenaga medis yang dilibatkan juga harus sebanding.
https://kamumovie28.com/fast-five/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar