Kepercayaan investor terhadap pasar obligasi terbesar di dunia, yaitu China tengah diuji. Lantaran, ada beberapa perusahaan milik pemerintahan China (BUMN China) yang belakangan ini justru mengajukan status gagal bayar utang.
Padahal, berdasarkan data yang dikumpulkan Bloomberg, awal tahun 2020 lalu, kasus gagal bayar utang China sempat mengalami penurunan sebanyak 20% atau menjadi 85,1 miliar Yuan setara US$ 13 miliar. Lantaran ditopang kebijakan pemerintah menanggulangi dampak pandemi COVID-19. Setidaknya, saat itu selusin korporasi berhasil lolos dari jeratan gagal bayar utang.
Akan tetapi, kasus gagal bayar utang di China kembali meningkat di paruh kedua tahun ini. Padahal, kasus gagal bayar di pasar obligasi China dianggap sebagai kejadian langka. Lantaran, obligasi di China kebanyakan dikeluarkan oleh para BUMN China tersebut, yang biasanya kerap menerima dana talangan dari pemerintah. Sehingga, dianggap para investor sangat minim risiko.
Nyatanya, kali ini kasus gagal bayar di pasar obligasi China justru berasal dari BUMN China, sedangkan kasus gagal bayar dari korporasi swasta justru mulai mereda akhir tahun ini.
Siapa saja BUMN China yang gagal bayar utang tersebut?
Lanjut ke halaman berikutnya>>>
Pertama, Yongcheng Coal & Electricity Holding Group Co., penambang batu bara milik negara. Coal & Electricity Holding Group Co., baru saja mengajukan status gagal bayarnya pada November lalu.
Kedua, Tsinghua Unigroup Co., pembuat chip terkemuka di China.
Ketiga, Brilliance Auto Group Holdings Co., produsen mobil yang juga merupakan mitra usaha patungan BMW AG.
Sebelumnya, tepatnya tahun lalu, ada juga BUMN lain yang pernah menoreh catatan buruk di pasar obligasi. BUMN yang dimaksud adalah Tewoo Group. Perusahaan ini sampai mengajukan restrukturisasi utang US$ 1,25 miliar. Itu merupakan default (gagal bayar) obligasi dolar terbesar di antara perusahaan-perusahaan milik negara lainnya dalam 20 tahun terakhir.
https://tendabiru21.net/movies/acceleration/
AS Ternyata Punya Utang Jumbo ke China, Seberapa Besar?
Utang Amerika Serikat (AS) ke China tembus US$ 1,06 triliun atau Rp 14.989,46 triliun (kurs Rp 14.141/US$). Sementara total utang AS ke sejumlah negara hingga akhir September mencapai US$ 20,4 triliun.
Dengan jumlah utang tersebut, China menjadi negara yang paling banyak memberikan utang ke AS. Selain China, surat utang AS paling banyak dipegang oleh Jepang.
Dikutip dari South China Morning Post, Sabtu (5/12/2020), total kepemilikan asing terhadap surat utang AS mencapai US$ 7,07 triliun atau 35% dari yang diterbitkan. China memegang 5,2% dari seluruh surat utang AS tersebut.
China punya alasan tersendiri dari aksi borong surat utang AS tersebut. Salah satunya untuk menjaga nilai tukar Yuan agar tetap stabil. Mata uang Yuan penting dijaga tetap stabil agar ekonomi dalam negeri tak terpuruk sekaligus harga ekspornya terjaga murah.
Cara China menjaga Yuan agar tetap stabil adalah dengan mencetak Yuan banyak-banyak, lalu membeli dolar. Dolar yang dibeli itu tentu tidak bisa disimpan begitu saja, tetapi dipinjamkan ke Amerika dengan membeli surat utang bernama Treasury Securities yang dikeluarkan Pemerintah AS.
Lagi pula, Dolar AS juga diterima secara luas dan banyak digunakan dalam transaksi internasional. Komoditas penting seperti migas salah satunya, dihargai dan diperdagangkan dalam dolar AS.
Jika China mulai melepaskan utang AS, dapat memicu aksi jual di pasar obligasi, membuat suku bunga AS naik dan berpotensi mengganggu pertumbuhan ekonomi. Aksi jual tiba-tiba juga bisa menyebabkan nilai tukar dolar AS jatuh terhadap yuan, membuat ekspor China lebih mahal dan dolar lebih lemah.
Lalu, bagaimana prospek kepemilikan utang AS di China? Klik halaman selanjutnya>>>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar