Salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN), PT Pertamina (Persero) mencatat kerugian US$ 767,92 juta atau setara dengan Rp 11,13 triliun (kurs Rp 14.500) pada periode semester I 2020.
Kerugian ini terjadi karena penurunan penjualan yang drastis hingga 19,84% menjadi hanya US$ 20,48 miliar dari periode yang sama tahun sebelumnya US$ 25,55 miliar.
Apakah kondisi ini mencerminkan Ahok Effect nggak ngefek lagi di Pertamina?
Menanggapi hal tersebut Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengungkapkan kondisi ini merupakan dampak keras dari pandemi COVID-19 yang terjadi dan menekan seluruh sektor perekonomian.
"Kalau ada yang mengaitkan dengan pak komut (Komisaris Utama Pertamina Basuki Tjahaja Purnama/Ahok) ya wajar, karena pak Komut juga suka overclaim. Tapi kondisi ini sebenarnya wajar, karena memang bisnis juga sedang turun," kata dia saat dihubungi detikcom, Selasa (25/8/2020).
Dia mengungkapkan, penjualan Pertamina yang merosot drastis juga menjadi penyebab tingginya kerugian ini. Komaidi menyebut kondisi ini juga terjadi di perusahaan-perusahaan migas lain seperti Exxon, Total hingga Shell yang mengalami penurunan dengan jumlah yang lebih besar.
"Pandemi ini kan bikin permintaan turun ya, penjualan pasti rendah. Memang perusahaan migas saat ini di hulu kena di hilir kena. Ya harus menunggu situasi ekonomi membaik baru bisa ikut membaik," jelas dia.
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi mengungkapkan dengan kerugian ini Pertamina tidak bisa berkontribusi untuk sumber dana APBN, pembukaan lapangan kerja hingga pertumbuhan ekonomi.
Menurut dia kondisi merugi ini menempatkan Pertamina sebagai liabilities (beban), bukan aset bangsa.
Menganalisa Rugi Pertamina Rp 11 Triliun
- PT Pertamina (Persero) mencatat kerugian hingga US$ 767,92 juta atau sekitar Rp 11,13 triliun (kurs Rp 14.500). Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi mengungkapkan ini merupakan rekor kerugian tertinggi selama 10 tahun terakhir.
Dia menyebut penurunan lifting minyak merupakan penyumbang terbesar terhadap penurunan penjualan ekspor migas, ini yang menyebabkan Pertamina merugi.
Fahmy mengatakan semestinya pendapatan penjualan BBM bisa meningkat pasalnya Pertamina tidak menurunkan harga BBM pada saat harga saat harga minyak dunia sedang terpuruk selama 2020.
"Dalam kondisi merugi itu, keputusan Pertamina untuk akuisisi ladang minyak di luar negeri merupakan keputusan blunder, yang akan memperbesar kerugian Pertamina pada semester II-2020," kata dia, Selasa (25/8/2020).
Alasannya, menurut dia investasi tersebut tidak bisa dibiayai dari sumber internal laba ditahan, tapi dibiayai dari sumber eksternal utang, yang akan semakin memperbesar biaya bunga sehingga memberatkan kerugian
Selain tidak ada laba ditahan, setoran deviden dan pajak juga akan mengalami penurunan drastis. Demikian juga dengan partner dan kontraktor yang selama ini bekerja sama dengan Pertamina pasti akan terkena imbasnya.
Jangan sampai PHK di Pertamina dan para partner terjadi sehingga memperbesar jumlah PHK di Indonesia.
Dalam kondisi tersebut, Pertamina tidak bisa ikut berperan dalam memberikan kontribusi terhadap sumber dana APBN, pembukaan lapangan pekerjaan, dan pertumbuhan ekonomi, serta pencegahan ancaman resesi ekonomi Indonesia
"Dalam kondisi merugi, yang menempatkan Pertamina sebagai liabilities (beban), bukan aset bangsa," jelasnya.
Sementara Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro menjelaskan kondisi ekonomi yang sulit ini memang membuat kinerja keuangan Pertamina semakin tertekan dan menyebabkan bisnis mengalami penurunan di semua sektor termasuk migas.
"Kalau saya melihatnya karena kondisi pandemi dan berbagai sisi, tapi kalau ada yang mengaitkan ke komut (Komisari Utama Pertamina Basuki Tjahaja Purnama/Ahok) ini wajar. Karena pak komut juga suka overclaim," jelasnya.
https://kamumovie28.com/barbershop-the-next-cut/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar