Rabu, 19 Februari 2020

Cerita Suku Bugis Hidup Harmoni di Karimunjawa

Suku Bugis dikenal sebagai pelaut ulung pada masa silam dan berlayar hingga Madagaskar. Di Karimunjawa pun ada jejaknya.
Mereka telah menemukan sebuah pulau kaya raya di tengah Laut jawa dan awalnya hanya untuk singgah sejenak. Alih-alih berdagang, hingga akhirnya menetap dan membentuk perkampungan Bugis sampai sekarang. Mereka mampu mempertahankan adat istiadat dan tradisi sendiri, hidup rukun berdampingan dengan Suku Jawa.

"Jangan ke sini dulu, mbak. Karimunjawa lagi baratan." Ujar kawan saya yang menetap di Pulau Karimunjawa dalam percakapan telepon. Istilah baratan kerap dipakai masyarakat Karimunjawa untuk menggambarkan cuaca buruk yang menyebabkan gelombang laut semakin besar. Para nelayan berhenti berlayar, kapal penyeberangan Jepara-Karimunjawa kerap dibatalkan, sampai-sampai distribusi sembako dan BBM ke Pulau Karimunjawa tersendat.

Tapi saya begitu bebal, memaksakan diri berangkat ke Pulau Karimunjawa setelah peringatan dini dari BMKG tentang gelombang besar di Laut Jawa. Beruntung rute penerbangan Semarang-Karimunjawa kembali dibuka setelah beberapa tahun landasan pacu Bandara Dewadaru Karimunjawa terabaikan hingga tertutup ilalang. Sehari sebelum keberangkatan, saya langsung mengeluarkan ponsel, membuka aplikasi tiket.com untuk memesan penerbangan ke Pulau Karimunjawa. #semuaadatiketnya, begitulah petuah tiket.com yang saya percaya menyediakan tiket penerbangan dengan harga stabil meskipun dipesan mendadak.

Dua hari di Pulau Karimunjawa, hujan lebat dan badai menerpa perairanya. Suasananya sepi, tidak terlihat wisatawan lalu lalang di jalan. Kapal-kapal yang melayani aktivitas hopping island-pun gagal diberangkatkan. Di tengah kebosanan karena setiap hari hanya makan, tidur dan bermain game di ponsel, kawan saya justru menawarkan untuk menyambangi Kampung Bugis, alih-alih mengobati kekecewaan saya.

"Hah, memang ada Kampung Bugis di Karimunjawa?" tanya saya terheran-heran.

Ternyata benar, di jalan setapak Desa Kemujan terdapat barisan rumah panggung yang menandakan rumah adat Suku Bugis. Mereka berkumpul dalam satu dusun yang dinamakan Kampung Bugis. Kami berkunjung ke rumah Mas Nur yang rumahnya di ujung barat Kampung Bugis. Keluarganya berdarah Bugis, tentu memiliki rumah panggung dan pandai berbahasa Bugis. Begitu kami masuk ke dalam rumah, keluarga beliau menyambut ramah dengan menyodorkan dua ekor ikan bakar besar dan sebakul nasi hangat.

"Dalam aturan adat kami, setiap makanan yang dihidangkan di depan tamu harus dihabiskan," tutur Mas Nur.

Saya sendiri kaget sambil menghitung-hitung makanan sebanyak itu. "Ya ampun, gimana cara menghabiskannya?"

Namun saya tetap menghabiskan semua makanan di depan saya, walaupun perut terasa kembung. Lantas, saya mendekati ibu Mas Nur yang sedang membakar ikan. Beliau bercerita tentang awal mula kedatangan Suku Bugis di pulau ini.

Alkisah, kedatangan penjajah Belanda yang membawa persekutuan VOC memonopoli perdagangan tanah Bugis. Mereka merasa terusik dan sebagian masyarakat Bugis memutuskan untuk merantau ke pulau lain. Mereka berlayar sekaligus berdagang, berjelajah sampai Negeri Madagaskar. Hingga akhirnya Suku Bugis sangat dikenal sebagai pelaut ulung.

Di tengah pelayaran, mereka menemukan sebuah pulau kecil namun subur di Laut Jawa, yaitu Karimunjawa. Di situlah mereka singgah untuk berdagang, hingga menetap membentuk sebuah perkampungan di Desa Kemujan. Lantas, kenapa mereka bisa hidup rukun berdampingan dengan penduduk asli Suku Jawa?

Alasannya kuat, mereka menjunjung tinggi filosofi 'Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung'. Suku Bugis tidak pernah meninggalkan adat istiadat, tradisi bahkan bahasa asli mereka hingga saat ini. Tetapi mereka sadar, mereka hanya tamu di tanah Jawa. Mereka tetap berinteraksi, saling hidup rukun, bahkan ikut bergotong royong dengan para penduduk Jawa. Sebenarnya, Suku Bugis tak hanya tersebar di Desa Kemujan.

Ada pula etnis Bugis yang hidup di pulau seberang, Pulau Parang namanya. Namun di Pulau Parang, adat istiadat dan tradisi Bugis tak sekental di Desa Kemujan, sudah bercampur dengan adat Jawa. Mereka juga terkenal akan kekuatan magisnya.

"Kalau kamu ke Pulau Parang, jangan macam-macam. Pulang nanti bisa kembung perut kamu." kata sang ibu mewanti-wanti.

"Di sini saja perut saya sudah kembung, Bu. Kebanyakan makan," goda saya.

Jejak Bugis ditinggalkan pula sebagai tempat wisata. Tepat di Pantai Bunga Jabe, seorang saudagar berdarah Bugis mendirikan tempat wisata pantai bernuansa Bugis. Mulai dari penginapan hingga restoran yang menyajikan makanan khas Bugis. Begitulah Suku Bugis meninggalkan jejak, agar tetap dikenang sebagai pelaut ulung sepanjang masa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar