Apa traveler yang pernah ke Bali memperhatikan hal unik ini. Di sana ada sekelompok warga yang memakai bahasa isyarat.
Melansir BBC Travel, Selasa (26/2/2019), Kata Kolok secara harfiah berarti tuli dalam bahasa Indonesia. Ini adalah bahasa isyarat unik yang merupakan sarana komunikasi utama hanya untuk 44 orang saja di Bali.
Ceritanya diawali oleh Kolok Getar, seorang lelaki tua. Sambil duduk bersila di lantai beton ia mulai bercengkrama dengan teman-temannya, tentu dengan bahasa isyarat.
Kolok Getar menunjuk ke deretan telapak tangan yang bergoyang menunjuk ke sebuah perbukitan. Jari-jarinya membentuk bentuk bola besar dan dia mengirimkan makhluk halus ke pohon kelapa imajinasi.
Lingkaran teman-temannya yang duduk di lantai di sekelilingnya bertepuk tangan diiringi ledakan tawa. Seluruh percakapan itu telah terjadi tanpa sepatah kata pun diucapkan.
Cerita di atas ada di Bengkala. Ini adalah desa yang berada di Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng, Bali, Indonesia yang dikenal memiliki puluhan warga berkekurangan, tuli-bisu atau dikenal sebagai kolok.
Selama sekitar enam generasi, sebagian besar warga Bengkala itu telah lahir tuli. Oleh penduduk setempat selama bertahun-tahun dikaitkan dengan kutukan, tetapi para ilmuwan baru-baru ini menemukan gen resesif (dikenal sebagai DFNB3) yang selama beberapa dekade mengakibatkan sekitar satu dari 50 bayi di desa terlahir tuli.
Karena kekurangan tersebut, lebih dari setengah orang yang bisa mendengar di Desa Bengkala juga belajar Kata Kolok. Hal ini semata-mata untuk kepentingan berkomunikasi dengan anggota keluarga dan teman-teman tunarungunya.
Sangat sedikit wisatawan yang menempuh perjalanan dua jam dari pusat wisata Ubud melintasi gunung ke daerah pedalaman pesisir Bali utara. Ini menjadikannya salah satu kawasan termiskin di Pulau Bali.
Sebagian besar kolok di Bengkala membentuk subsistem pertanian yang hasilnya cukup untuk keluarga dan ada pula yang berprofesi sebagai penjaga keamanan dan penggali kubur. Kini, Kolok Getar menghidupkan kembali seni bela diri bersama teman-temannya.
Kolok Getar juga lainnya sulit berkomunikasi dengan orang tuli baru dikenal. Hal itu dikarenakan versi komunikasi yang berbeda dengan yang ada di Bengkala dan itu membuat mereka sering kesepian karena hanya bisa berkomunikasi dengan keluarga dekat saja.
Kolok Bengkala relatif beruntung. Mereka dapat berkomunikasi dengan sebagian besar orang di desa berpenduduk sejumlah 3.000 jiwa ini.
"Jika Anda ditakdirkan untuk menjadi tunarungu. Maka desa ini kemungkinan besar akan menjadi tempat terbaik di dunia untuk tumbuh dewasa!" kata I Ketut Kanta, juru bicara Aliansi Tuli Bengkala.
Isyarat dalam Kata Kolok cukup unik, yakni untuk laki-laki disimbolkan dengan jari telunjuk yang menunjuk dengan kaku. Sedang tanda untuk ayah adalah jari yang sama tapi melengkung di atas bibir seperti kumis.
Untuk perempuan dilambangkan dengan dua jari membentuk celah sempit, sedang untuk ibu adalah payudara yang ditangkup. Kata haus dilambangkan dengan membelai tenggorokan yang tampaknya kering, dan untuk kopi menggunakan jari yang dipelintir ke dahi dengan cara yang sama yang digunakan untuk menunjukkan orang gila di Dunia Barat.
Kata Kolok telah berevolusi secara alami dan terus-menerus ditambahkan oleh para penandatang dan kadang tidak sopan. Efek sampingnya, banyak kolok yang berbakat menerima perubahan.
"Kolok dan enget (tunawicara) dibayar dengan upah yang sama untuk bekerja di desa. Namun demikian, tidak mudah bagi orang tuli untuk mencari pekerjaan di luar desa dengan upah tenaga kerja lokal sekitar Rp 60 ribu sehari," kata I Ketut Kanta.
Suatu waktu, Kolok Getar dan empat teman koloknya beruntung. Mereka disewa untuk menggali kuburan, karena biaya Upacara Ngaben amat mahal bagi golongan tak berduit.
Penduduk Desa Bengkala mengklaim bahwa para kolok telah kebal terhadap suara seram, bisikan dari kubur dan roh jahat yang menghantui orang yang bisa mendengar. Meski kerja kasar, ada rasa hormat mendalam bagi komunitas kolok dan penduduk desa telah berupaya memperjuangkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar