Desa Sade di Lombok masih memegang teguh tradisi yang sudah berlangsung selama ratusan tahun. Termasuk di antaranya, tradisi kawin lari yang bikin tercengang.
Sebuah ketidakberuntungan bagi saya karena mengunjungi Lombok saat sering terjadi hujan pada bulan Januari kemarin. Saya tidak dapat menikmati indahnya sunrise dan sunset di pantai-pantai Lombok yang masih sangat natural dan cantik. Namun bukan berarti saya terus meratapi ketidakberuntungan itu.
Saya merubahnya menjadi perjalanan yang tidak kalah menyenangkan lainnya di Pulau Lombok. Saya mulai mencari alternatif wisata selain pantai di Pulau Lombok dan ketertarikan saya jatuh pada Desa Sade, sebuah desa yang berlokasi di Lombok Tengah yang sudah sangat terkenal dengan penghuninya yang merupakan masyarakat suku Sasak asli dan tradisinya yang masih sangat kental.
Saat sampai di lokasi, saya dimintai uang parkir sebesar Rp 5.000 rupiah untuk satu sepeda motor. Kemudian seorang pemuda yang mengatakan bahwa ia adalah pemuda dari Desa Sade menghampiri saya dan memberitahukan bahwa berkunjung ke Desa Sade harus didampingi seorang guide yang merupakan masyarakat lokal.
Alasannya agar pengunjung dapat lebih mengetahui tentang Desa Sade dan kebanyakan masyarakat yang berada di dalam desa tidak bisa menggunakan bahasa Indonesia, hanya bahasa sasak. Sehingga pemuda-pemuda yang telah mengerti bahasa Indonesia inilah yang akan menemani pengunjung.
Mereka menjelaskan berbagai hal tentang Desa Sade dan membantu pengunjung berkomunikasi dengan masyarakan lokal. Kita hanya perlu memberikan tips seiklasnya diakhir perjalanan nanti kepada guide yang menemani kita.
Ketika memasuki Desa Sade, saya melihat rumah-rumah asli penduduk sana berjejer, terdapat beberapa rumah yang mejajakan souvenir seperti gantung kunci, syall tenun, pin, dan souvenir khas sasak lainnya.
Rumah masyarakat Desa Sade sangat berbeda dengan rumah masyarakat pada umumnya. Rumahnya kecil, terbuat dari tanah liat dengan atap jerami.
Saya berkesempatan untuk memasuki satu rumah penduduk. Terdapat 2 ruangan di dalam rumah tersebut. Ruangan pertama untuk tempat beristirahat anggota keluarga, dan ruangan kedua yang letaknya lebih dalam dan lebih tinggi dari ruangan pertama adalah kamar untuk anak gadis sekaligus ruangan yang difungsikan sebagai tempat melahirkan. Ruangan ini juga disatukan dengan dapur di luarnya.
Ruangan bagi anak gadis dibuat lebih di dalam bertujuan agar anak gadis tersebut aman. Karena satu tradisi yang tidak kalah uniknya di Desa Sade adalah pernikahan dilakukan bila seorang pemuda berhasil menculik gadis yang ia senangi, atau seorang pemuda dan gadis dari Desa ini menikah dengan melarikan diri atau kabur.
Jadi keluarga sangat melindungi anak gadis mereka dengan membuat kamar peristirahatannya tidak mudah dijangkau. Karena apabila berhasil diculik, si gadis maupun pihak keluarga harus melaksanakan pernikahan tersebut. Pernikahan di Desa Sade dilakukan antar penduduk sesama desa yang sebenarnya masih dalam satu garis keturunan. Hal ini bertujuan agar kelestarian dan tradisi mereka tetap bertahan.
Terdapat rumah yang lebih kecil daripada rumah masyarakat Desa Sade pada umumnya. Rumah ini hanya terdiri dari satu ruangan. Rumah ini diperuntukan untuk pasangan yang baru menikah atau masyarakat yang sudah memasuki usia lansia.
Kondisi tidak terlalu ramai ketika saya mengunjungi Desa Sade, berdasarkan penjelasan guide masyarakat disana sedang berkebun. Mata pencaharian penduduk Desa Sade adalah berkebun kapas dan jagung, dan menenun. Para wanita di Desa Sade diwajibkan untuk bisa menenun.
Kebanyakan masyarakat Desa Sade tidak mengenyam pendidikan terutama untuk kaum perempuan. Terlihat dari saat saya berkomunikasi dengan penduduk untuk menawar kain tenun yang mereka jual, penduduk tersebut tidak bisa menggunakan Bahasa Indonesia, sehingga memang diperlukan bantuan guide dalam hal komunikasi ini.
Banyak hal yang bisa dilakukan di Desa Sade selain berjalan-jalan melihat keunikan Desa tersebut, keseharian penduduk wanita desa yang selalu menenun membuat para pengunjung bisa mencoba menenun mulai dari mencoba cara memintal benang, sampai bagaimana cara menenun kain. Masyarakat di sanapun sangat ramah dalam mengajari pengunjung.
Jika kalian ingin berbelanja kain tenun atau souvenir khas sasak di Desa Sade, jangan khawatir untuk menawar karena kain yang semula dijual Rp 250.000 saya bisa tawar menjadi Rp150.000.
Banyak hal yang membuat saya tercengang dengan tradisi masyarakat suku Sasak di Desa Sade.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar