Setelah kebijakan privasi baru WhatsApp, ajakan untuk pindah ke platform messaging lain seperti Telegram muncul. Entah apa pemicunya, ajakan tersebut kembali menjadi trending topic Twitter. Sebelumnya, trending serupa sudah pernah terjadi.
Sampai berita ini ditulis, sudah lebih dari 3.000 lebih cuitan memakai tagar #PindahkeTelegram. Respons netizen pun beragam, meski kebanyakan merespon ini dengan positif.
"Meninggalkan seseorang untuk seseorang.. meninggalkan sms untuk bbm, meninggalkanp bbm untuk whatsapp, skrg whatsapp ditinggal #PindahkeTelegram," cuit @jantanitu.
"Ini alasanku memakai telegram penuh grup bola #PindahkeTelegram," ujar @prawira_yh.
Ada juga cuitan kocak yang mengatakan tidak ada bedanya pindah dari WhatsApp ke aplikasi Telegram -- toh sama-sama tidak ada yang ngechat juga, waduh!
Kalau kamu, apakah memutuskan untuk pindah ke Telegram juga? Atau malah sudah sejak dulu memakai aplikasi tersebut?
Seperti Myanmar, Indonesia dan Negara-negara Ini Pernah Blokir Internet
Militer Myanmar mematikan akses internet untuk membatasi aksi demonstrasi terhadap kudeta yang mereka lakukan. Myanmar bukan satu-satunya negara yang mematikan internet. Dengan beragam alasan, negara-negara ini juga pernah melakukannya.
Dimatikannya akses internet kerap memicu kontroversi dan tak jarang malah memicu kemarahan lebih besar. Pemblokiran terhadap akses internet dianggap melanggar hak asasi manusia. Berikut ini beberapa negara yang pernah mematikan akses internet.
https://indomovie28.net/movies/fatal-friends/
Mesir
Media sosial dinilai berperan penting dalam memicu pergolakan massa. Karena alasan tersebut, pemerintah Mesir memblokir layanan internet di negaranya. Imbasnya, hanya dalam 5 hari, Mesir mengalami kerugian industri hingga mencapai USD 90 juta.
Peristiwa ini terjadi pada 2011. Saat itu Mesir tengah bergejolak. Aksi demo besar-besaran terjadi di Kairo dan kota-kota lainnya di Mesir. Ribuan warga Mesir menuntut pengunduran diri Presiden Hosni Mubarak yang telah berkuasa selama tiga dekade.
Pemerintahan Mubarak yang begitu lama berkuasa, menyuburkan praktik kolusi korupsi dan nepotisme (KKN), terutama di lingkungan keluarganya. Namun, Mubarak saat itu mengabaikan desakan massa untuk mundur dari kursi presiden.
Demonstran yang marah pun gencar melancarkan aksi protes. Bentrokan antara massa pendukung dan antipemerintahan pun tak terhindarkan dan menimbulkan banyak korban jiwa dan kerusakan fisik kota.
Langkah pemerintah Mesir memutus akses internet untuk meredam massa menandakan bahwa pengaruh jejaring sosial dalam menciptakan pergolakan massa sangat besar. Pemblokiran internet dilakukan untuk membendung gerakan yang dimobilisasi lewat jejaring sosial.
Aljazair
Pada 2011, pemerintah Aljazair memblokir akses ke internet untuk membendung gelombang demonstrasi anti Presiden Abdelaziz Bouteflika. Meski demikian, aksi demonstrasi tetap berlangsung dan berujung pada sedikitnya 500 orang ditahan.
Terinspirasi oleh gelombang demonstrasi di Mesir, para demonstran juga mendesak Bouteflika mundur. Berkuasa sejak 1999, Bouteflika dituding kalangan oposisi selalu memanipulasi hasil pemilu agar terus berkuasa.
Pemblokiran internet kembali terjadi di 2018, namun kali ini bukan karena alasan keamanan. Koneksi internet sengaja dimatikan pada masa ujian akhir sekolah. Ya, pemerintah Aljazair memutuskan untuk mematikan koneksi internet agar para siswa sekolah tak bisa berbuat curang saat ujian.
Langkah ini memang terlihat berlebihan, namun Aljazair punya alasan untuk melakukannya. Pada 2016, ada insiden bocornya pertanyaan ujian di internet. Karenanya, pemerintah Aljazair mencegah agar hal serupa tak lagi terulang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar