Guinea menetapkan status epidemi Ebola usai laporan kasus kematian meningkat. Sejauh ini, menurut pakar WHO di Afrika sudah ada empat kasus yang meninggal.
"Merupakan keprihatinan yang sangat besar untuk melihat kebangkitan kembali Ebola di Guinea, sebuah negara yang telah sangat menderita karena penyakit tersebut," jelas Direktur Regional WHO untuk Afrika, Matshidiso Moeti, seperti dikutip dalam sebuah pernyataan.
Para pasien yang sakit karena Ebola dilaporkan mengeluhkan diare, muntah, hingga pendarahan usai menghadiri pemakaman di Goueke. Mereka yang masih mengeluhkan gejala sedang dalam perawatan insentif dan diisolasi sementara.
"Menghadapi situasi ini dan sesuai dengan peraturan kesehatan internasional, pemerintah Guinea mengumumkan epidemi Ebola," kata Kementerian Kesehatan setempat, dikutip dari Reuters.
Pasien Ebola pertama yang meninggal dimakamkan pada 1 Februari adalah seorang perawat di pusat kesehatan setempat. Wabah Ebola sudah menyerang Afrika Barat sejak tahun 2013-2016 di Nzerekore, wilayah itu juga terus berupaya mengatasi penyebaran Ebola yang setidaknya sudah membunuh lebih dari 11 ribu orang.
Sebagian besar kasus ditemukan di Guinea, Liberia, dan Sierra Leone. Guinea juga masih harus melawan wabah COVID-19, sejauh ini ada 14.895 kasus COVID-19 yang ditemukan dan 84 kematian dicatat.
Tak seperti COVID-19, Ebola tak bisa ditularkan oleh mereka yang terinfeksi tanpa gejala. Namun, Ebola bisa menyebar melalui kontak dengan cairan tubuh dan memiliki angka kematian yang jauh lebih tinggi dari COVID-19.
Kementerian mengatakan petugas kesehatan sedang mencoba untuk melacak dan mengisolasi kontak kasus Ebola dan akan membuka pusat perawatan di Goueke, yang berjarak kurang dari satu jam berkendara dari Nzerekore.
Pihak berwenang juga telah meminta vaksin Ebola kepada Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Vaksin baru telah sangat meningkatkan tingkat kelangsungan hidup dalam beberapa tahun terakhir.
https://cinemamovie28.com/movies/orange-2/
Saturasi Oksigen Uya Kuya Drop di Bawah 90, Cara Ceknya Gimana Sih?
- Uya Kuya positif Corona, ia mengabarkan hal ini dalam laman akun pribadi media sosialnya. Selama terpapar, ia mengeluhkan beragam gejala COVID-19 termasuk demam tinggi dan sempat 'ngos-ngosan'.
Saat menjalani isolasi mandiri, tanpa disadari saturasi oksigen Uya Kuya berada di bawah 90.
"Gue diinfus di apartemen, tapi pada saat itu saturasi oksigen terus menurun di bawah 90 akhirnya dokter hands up langsung dibawa ke RS," ceritanya dalam akun YouTube-nya.
Bagaimana sih cara mengecek saturasi oksigen?
Saturasi oksigen bisa dicek melalui alat oximeter. Alat ini dijual bebas, baik di apotek hingga marketplace dengan harga yang cukup beragam.
Dikutip dari Mayo Clinic, tingkat saturasi oksigen atau SpO2 normal berada pada angka 95 hingga 100 persen. Tetapi, jika saturasi oksigen atau SpO2 berada di bawah 95, seperti 92 dan seterusnya bisa menunjukkan adanya potensi hipoksemia atau kekurangan oksigen.
Cara membaca oximeter sebenarnya cukup mudah, tetapi ada beberapa faktor yang bisa mempengaruhi hasil akurasi seperti gerakan, suhu, atau cat pada kuku. Kamu bisa membaca saturasi oksigen dengan melihat kadar SpO2 (tingkat saturasi oksigen) dan PRbpm pada pulse oximeter.
Bagaimana cara memilih oximeter yang baik?
"Tipsnya ya cari yang memang benar dijual oleh toko yang menjual barang medis sehingga lebih dapat dipercaya," jelas ahli jantung dr Vito beberapa waktu lalu.
Menurutnya, perlu untuk mengecek lebih dulu efektivitas alat oximeter pada pasien Corona dengan saturasi normal. Hal ini untuk memastikan oximeter yang dibeli memiliki akurasi yang baik.
"Lalu dites dicoba ke orang normal saturasinya. Jika pada pasien hasil meragukan coba restart lagi dan test ke orang normal sehat. Jika memang saturasi turun di bawah 95 persen maka sebaiknya segera periksa ke profesional medis," pesannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar