Di tengah anjloknya harga minyak dunia yang telah berlangsung lama, Pemerintah dan badan usaha penyedia BBM masih belum juga menurunkan harga BBM. Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman mengatakan harusnya harga BBM telah turun sejak 31 Maret 2020 menyesuaikan harga minyak dunia.
Menurut Yusri harusnya badan usaha penyedia BBM seperti Pertamina, Shell, Vivo, AKR, BP dan Petronas, hanya boleh mengambil keuntungan maksimal 10% dari harga dasar minyak. Apabila keuntungan di atas 10% dari harga acuan, maka badan usaha telah melanggar hukum.
"Memungut keuntungan lebih dari 10% dari harga dasar BBM adalah melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara Republik Indonesia," jelas Yusri lewat keterangannya, Senin (20/4/2020).
Yusri menilai hal itu tertuang dalam beberapa beleid yang pernah diterbitkan. Mulai dari Perpres 34 tahun 2018, Permen ESDM 34 tahun 2018, dan Keputusan Menteri ESDM 62/12/MEM/2020.
Yusri menjelaskan, harga acuan minyak sendiri dihitung dari rata rata harga acuan MOPS/Argus terhitung pada tanggal 25 Febuari - 24 Maret 2020. Serta rata-rata MOPS dibagi nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat.
Dia menjabarkan untuk menghitung harga BBM yang sebenarnya, dia menggunakan rumus. Rumus pertama berupa harga acuan MOPS + Rp 1800 + 10% dari harga dasar, untuk bensin dibawah RON 95 dan Solar CN 48.
Lalu rumus kedua, harga acuan Mops + Rp 2000/ liter + 10% margin dari harga dasar, untuk Bensin Ron 95 dan Solar CN 51 ke atas. Yusri mengatakan kalau harga BBM belum juga turun, badan usaha menurutnya bagaikan mengambil hak rakyat secara tidak wajar.
"Selain itu, mengambil hak rakyat secara tidak wajar apalagi disaat lagi paranoid COVID-19 adalah tindakan biadab oleh badan usaha," ungkap Yusri.
Sementara itu, untuk Pertamina, Direktur Utamanya Nicke Widyawati mengatakan bahwa selama ini pihaknya hanya mengikuti formula yang diberikan Kementerian ESDM dalam menentukan harga minyak. Nicke mengatakan bahwa ketetapan harga diputuskan oleh pemerintah.
Hal ini disampaikannya saat melakukan rapat kerja dengan Komisi VI DPR. Dalam rapat itu, beberapa anggota DPR juga mempertanyakan mengapa harga BBM di Indonesia belum juga turun.
"Jadi kami setiap bulan mengikuti formula Peraturan ESDM, ketetapan harga diberikan pemerintah hari ini belum ada perubahan. Kalau soal harga itu ada di Kementerian ESDM," kata Nicke, dalam rapat kerja virtual, Kamis (16/4/2020).
Pendapatan Merosot, Bagaimana Kemampuan Pemerintah Bayar Utang?
Kemampuan pemerintah untuk membayar utang di tengah wabah virus Corona dipertanyakan oleh banyak kalangan. Sebab realisasi pendapatan negara dalam tiga bulan ini terus merosot.
Pemerintah belum lama ini menerbitkan surat utang berdenominasi dolar Amerika Serikat (AS) atau global bond senilai US$ 4,3 miliar. Ini penerbitan surat utang terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Apalagi global bond ini memiliki tenor hingga 50 tahun yang menjadi jatuh tempo pelunasan utang terlama.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu mengatakan posisi Indonesia dalam mencari pembiayaan tidak sulit. Sebab, rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) masih aman di level 30% atau jauh dari batas 60%.
"Kita tidak berada di situasi sangat susah. Debt to GDP ratio masih 30%," kata Febrio dalam video conference di kantornya, Jakarta, Senin (20/4/2020).
Meski masih aman, Febrio mengaku akan melakukan pembiayaan melalui penarikan utang sangat hati-hati. Pasalnya setiap ada penambahan dalam jumlah besar pasti ada resiko yang harus diterima.
"Jadi walau kita dalam kondisi nyaman, kita tetap tidak bisa ceroboh dalam menaikkan ini secara tiba-tiba," jelasnya.
"Karena kita juga akui, kalau kita push untuk stimulus tapi stabilitas makro terganggu, back fire juga. Kalau rupiah gonjang-ganjing, careless dan inflasi tinggi. Ini semua harus dilihat dalam konteks lengkap," tambahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar