Kamis, 30 April 2020

Jumlah Korban Corona di Inggris Kini Tertinggi Kedua di Dunia

Korban meninggal akibat virus corona di Inggris kini dilaporkan berada pada posisi tertinggi kedua di dunia, dengan jumlah 26.097, menurut data Sekolah Kedokteran Universitas Johns Hopkins (JHU) pada Kamis (30/4).

Menurut data JHU, jumlah kasus virus corona di Inggris saat ini mencapai 166.441, dengan jumlah pasien sembuh sebanyak 857 orang.

Di dalam paparan data JHU tercatat jumlah korban meninggal akibat virus corona di Inggris saat ini lebih tinggi dari Spanyol. Negeri Matador itu mencatat korban tewas karena virus corona mencapai 24.275 orang.


Sedangkan jumlah korban meninggal virus corona di Italia, menurut data JHU, masih menjadi yang tertinggi di dunia, yakni mencapai 27.682 orang.

Dibandingkan dengan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), jumlah kasus virus corona di Inggris tercatat sebanyak 161.149, dengan 21.678 orang meninggal.

Dilansir CNN, sebanyak 85 pegawai Dinas Kesehatan Nasional (NHS) Inggris dan 23 perawat pembantu di seluruh Inggris meninggal akibat virus corona.

Para tenaga medis sudah kerap melayangkan protes akibat kekurangan alat pelindung diri dan masker untuk menghindari mereka tertular saat menangani pasien virus corona.

"Saya sampaikan rasa duka yang mendalam terhadap seluruh keluarga dan rekan mereka yang ditinggalkan di masa sulit ini. Dan kami akan terus melanjutkan melakukan apapun untuk mendukung mereka," kata Menteri Luar Negeri Inggris, Dominic Raab, di hadapan Majelis Rendah Inggris

Corona dan Tangan Kapitalisme AS Cari Cuan di Tengah Pandemi

Wabah virus corona tak hanya menginfeksi jutaan juta orang di seluruh dunia, tetapi juga menghantam segala lini kehidupan mulai dari sosial hingga ekonomi.

Amerika Serikat, negara dengan perekonomian terbesar di dunia, ikut terkena imbas corona.

Sama seperti kebanyakan negara di dunia, pemerintahan Presiden Donald Trump suka atau tidak suka menerapkan sejumlah kebijakan pembatasan pergerakan seperti meliburkan sekolah, tempat hiburan, perkantoran, hingga pabrik industri.


Pembatasan pergerakan ini pun turut mempengaruhi laju perekonomian. Pabrik-pabrik mesti libur hingga sebagian dari mereka terpaksa merumahkan karyawan hingga waktu yang tidak bisa ditentukan. 

Tak sedikit buruh dan pekerja di AS terkena PHK, sama seperti yang terjadi di negara-negara berkembang. Berdasarkan data pemerintah, sudah 26 juta orang di AS yang mengajukan klaim bantuan pengangguran.

Dilansir dari CNN, Penasihat Ekonomi Presiden Trump, Kevin Hassett, bahkan telah mewanti-wanti Amerika untuk bersiap menghadapi gelombang pengangguran yang setara ketika Great Depression berlangsung.

Tak hanya kelas menengah ke bawah, menengah atas hingga para pemegang modal layaknya pengusaha juga menjerit karena tercekik dampak pandemi.

Trump dihadapkan pada situasi dilematis sama seperti banyak pemimpin negara lainnya, yakni antara mengutamakan kesehatan masyarakat atau perekonomian yang juga penting bagi kemaslahatan warga.

Sebab, ketika AS seharusnya fokus membantu meringankan beban kaum pekerja dan kelas menengah ke bawah, pemerintah malah terlihat lebih mudah memberi insentif bagi para pemegang modal dan perusahaan.

Dalam tulisan berjudul What Matters: This is What Coronavirus Capitalism Looks Like, Wolf menuturkan tak sedikit perusahaan besar mengais bantuan dari pemerintah ketika banyak keluarga dan usaha kecil menengah harus berjuang lebih keras untuk bertahan.

Wolf menggambarkan kasus perusahaan daging terbesar di AS, Tyson Food Inc., sebagai salah satu contohnya. 

Perusahaan berbasis di Arkansas itu beberapa kali mengeluarkan pernyataan di media yang mewanti-wanti bahwa kebijakan pembatasan pergerakan bisa mengancam pasokan pangan warga Amerika.

Bukan karena jumlah pasokan pangan yang minim, tapi karena masalah keamanan di tengah situasi pandemi ini.

Tyson Food mengumumkan pabriknya harus ditutup sementara karena masalah keamanan kebersihan dan sanitasi yang dinilai semakin rawan jika beroperasi di tengah wabah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar