Viral di media sosial sebuah alat pelindung diri (APD) dibuang dan ditemukan warga di sebuah selokan Jagakarsa, Jakarta Selatan, pada Selasa, (7/4/2020). Menanggapi hal ini Kapolres Jakarta Selatan merespon dengan melakukan penelusuran lebih lanjut.
"Sementara jadi TKP sementara ini masih kita telusuri," kata Kapolres Jakarta Selatan, Kombes Budi Sartono saat dihubungi detikcom, Rabu (8/4/2020).
Mewabahnya virus Corona COVID-19 memang membuat meningkatnya keperluan perlengkapan medis dalam menangani pasien. Beberapa perlengkapan medis hanya bisa untuk sekali pakai, salah satunya APD.
Perlengkapan medis ini nantinya akan menjadi sampah atau limbah medis yang harus dimusnahkan. Alasannya karena limbah medis memiliki risiko dapat menjadi sumber penyebaran penyakit.
Lalu bagaimana sebenarnya prosedur pemusnahan sampah medis setelah selesai dipakai?
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan pedoman pengelolaan sampah medis. Pedoman ini tertuang dalam surat edaran menteri lingkungan hidup dan kehutanan No. SE.2/MLHK/PSLB3/P.LB3/3/2020 tentang Pengelolaan Limbah Infeksius (Limbah B3) dan Sampah Rumah Tangga dari Penanganan Corona Virus Disease (COVID-19).
Pada surat edaran ini, sampah medis yang dihasilkan dari rumah sakit sebelum dibuang harus disimpan dalam kemasan tertutup paling lama dua hari sejak pertama dipakai.
Terdapat dua cara memusnahkan sampah medis. Pertama menggunakan incenerator dengan suhu pembakaran minimal 800 derajat celcius. Kedua menggunakan autoclave yang dilengkapi dengan pencacah atau shredder.
Nantinya, hasil pembakaran incenerator maupun cacahan autoclave dari sampah medis ini kemudian dikemas lalu ditempel tanda beracun. Selanjutnya disimpan di tempat penyimpanan sementara limbah B3 sebelum kemudian diserahkan kepada pengelola limbah B3.
Pernah Dipakai untuk TB, Ilmuwan Uji Vaksin BCG pada Virus Corona
Bacillus Calmette-Guerin (BCG), sebuah vaksin yang dikembangkan ratusan tahun lalu untuk infeksi tuberkulosis (TBC) di Eropa saat ini sedang diuji terhadap virus Corona COVID-19.
Vaksin BGS hingga saat ini masih digunakan untuk mengatasi kondisi kesehatan lainnya, termasuk mencegah kematian dari berbagai infeksi serta secara signifikan mengurangi risiko infeksi pernapasan.
Dikutip dari New York Times, Ahli mengatakan vaksin BCG bisa 'melatih' sistem imun untuk mengenali dan merespons berbagai infeksi virus, bakteri, hingga parasit.
Ilmuwan di Melbourne, Australia, sudah memberikan vaksin BCG kepada ribuan tenaga medis, pada Senin (6/4/2020).
"Tidak ada yang mengatakan ini obat mujarab," kata Nigel Curtis, peneliti penyakit menular di University of Melbourne dan Murdoch Children's Research Institute.
Menurutnya, uji coba ini bertujuan untuk menyelamatkan tenaga kesehatan yang terinfeksi sehingga mereka dapat kembali bekerja secara lebih cepat.
Direktur Imunologi di Rumah Sakit Umum Massachusetts, Denise Faustman, diketahui sedang mengumpulkan dana untuk memulai uji klinis vaksin kepada para pekerja kesehatan di Boston. Hasil awalnya dapat tersedia hanya dalam waktu empat bulan, katanya.
"Kami memiliki data yang sangat kuat dari uji klinis dengan manusia, bukan tikus. Bahwa vaksin ini melindungi Anda dari infeksi virus dan parasit. Aku ingin memulai sekarang," tuturnya.
Di Guinea-Bissau, Afria Barat, salah satu penelitian awal dari vaksin BCG ini sudah dilakukan terhadap 2.320 bayi tahun 2011. Hasilnya, dilaporkan tingkat kematian di antara bayi dengan berat lahir rendah berkurang secara dramatis setelah vaksinasi.
Studi lain, dilakukan selama 25 tahun terhadap lebih dari 150 ribu anak di 33 negara, melaporkan risiko anak-anak terkena infeksi saluran pernapasan 40% lebih rendah setelah mereka menerima vaksin BCG.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun menyimpulkan bahwa BCG memiliki 'efek di luar target' yang menguntungkan, dan merekomendasikan untuk melakukan lebih banyak uji coba vaksin terhadap infeksi lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar